Mohon tunggu...
吳明源 (Jonathan Calvin)
吳明源 (Jonathan Calvin) Mohon Tunggu... Administrasi - Pencerita berdasar fakta

Cerita berdasar fakta dan fenomena yang masih hangat diperbincangkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekstorsi, Korupsi Berbalut Hasrat Seksual

18 April 2019   22:46 Diperbarui: 18 April 2019   22:54 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Kick Andy Episode "Kami Melawan"

Kegiatan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden beserta calon legislatif telah usai, namun sebentar lagi rakyat Indonesia akan memperingati Hari Kartini yang jatuh pada 21 April. Seperti perjuangan RA. Kartini yang memperjuangkan emansipasi wanita, sudahkah semangatnya diteruskan oleh para kaum hawa saat ini? Mungkin bisa dikatakan belum seluruhnya.

Hal ini nampak dari kerasnya pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Di samping itu, banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang belum terselesaikan dan beberapa diantaranya diungkap dalam acara Kick Andy episode KAMI MELAWAN yang ditayangkan 22 Maret 2019 turut mengundang minat saya untuk membahas salah satu modus kekerasan terhadap perempuan, SEXTORTION (SEKSTORSI)

Sekstorsi berasal dari kata "Seks" dan "Ekstorsi". Menurut Forsyth & Copes dalam Encyclopedia of social deviance, ekstorsi dapat diartikan sebagai seseorang yang mengambil keuntungan terhadap orang lain dengan cara memberikan kekerasan dan membahayakan orang lain

Bahaya yang dimaksud dapat berupa bahaya terhadap fisik seseorang, property dan reputasi seseorang. Salah satu contoh kasus ekstorsi adalah pengiriman blackmail berupa ancaman dengan menyebarkan informasi berharga hingga korban memenuhi syarat yang ditentukan, Sedangkan menurut International Association of Women Judges, sekstorsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan seksual

Contoh Kasus Sekstorsi di Indonesia
Contoh Kasus Sekstorsi di Indonesia

Sejatinya telah banyak kasus sekstorsi yang terjadi pada masyarakat Indonesia dan lebih banyak menimpa kaum hawa di Indonesia terutama kaum remaja karena menurut penelitian dari  Van Ouytsel, Ponnet, & Walrave dalam Journal of Interpersonal Violence menyebutkan bahwa tindakan sekstorsi dianggap sebagai manifestasi tindakan kekerasan dalam menjalin hubungan.

Hal ini semakin dikuatkan dengan 2015 Youth Risk Behavior Survey yang melibatkan para siswa di tingkat 9 hingga 12 di Amerika Serikat dimana 11,7% siswa perempuan dan 7,4% siswa laki-laki mengakui pernah mendapatkan kekerasan secara fisik dalam menjalin hubungan serta sebanyak 26,3% remaja mengakui pernah menjadi korban kekerasan siber dalam menjalin hubungan menurut Zweig, J. M., Lachman, P., Yahner, J., & Dank, M. dalam artikel Correlates of cyber dating abuse among teens.

Meskipun begitu, perilaku sekstorsi saat ini masih terjadi hingga dapat digolongkan sebagai salah satu tindakan korupsi dimana menurut Transparency International, sekstorsi dapat terjadi ketika ada perpaduan antara keinginan untuk melakukan korupsi dengan eksploitasi seksual. Fenomena tersebut sangat mungkin terjadi di Indonesia mengingat berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2018,  Indonesia berada di peringkat 89 dari 180 negara dengan indeks 38.

Beberapa contoh kasusnya seperti dialami oleh beberapa pekerja wanita Tanzania yang mengidap virus HIV dikarenakan pengawas lapangan yang seharusnya mengawasi para pekerja wanita tersebut memaksa para pekerja wanita untuk "melayaninya: jika ingin memperoleh bayaran lebih atas hasil kerja lemburnya, sedangkan pengawas tersebut baru diketahui telah mengidap AIDS.

Dalam hal ini, korban yang lebih banyak didominasi oleh para wanita seringkali dipaksa menyuap ketika hendak mengakses pelayanan dasar masyarakat seperti pelayanan kesehatan serta penegakan hukum dan keadilan dan seringkali wanita dipaksa untuk "membayar dengan tubuhnya".

Kasus lainnya di tahun 2016, sebagaimana dikutip dari New York Daily News, seorang petugas deportasi Amerika Serikat didakwa dengan pemerasan seksual imigran gelap wanita yang berakibat salah satu korban hamil.

Di tahun 2010, dilansir dari New York Times, petugas imgirasi Amerika Serikat didakwa bersalah dengan meminta seks untuk memproses permohonan Green Card.

Dalam bukti suara yang diputar di persidangan menyebutkan bahwa pelaku dapat menolak permohonan pernikahan korban yang didasari oleh adanya Green Card dan mendeportasi pasangan korban jika korban tidak ingin berhubungan seksual dengan pelaku.

Tidak hanya di Amerika Serikat, diungkapkan oleh Amnesty International, para pengungsi yang berasal dari Suriah dan Irak juga mengalami pemerasan seksual (sekstorsi) oleh para penjaga keamanan setempat, penyelundup, hingga sesama pengungsi saat perjalanannya menuju Benua Eropa.

Sekstorsi juga terjadi di Indonesia, tepatnya yang dialami oleh Brigpol DS, polisi yang bertugas di Polrestabes Makassar yang dipecat karena swafoto miliknya tersebar di media sosial. Swafoto itu tersebar setelah DS mengirimkannya ke seorang pria yang mengaku berpangkat Kompol dan bertugas di Lampung.

Namun, setelah ditelusuri, pria itu adalah seorang narapidana di sebuah lembaga pemasyarakatan yang memalsukan identitas saat berkenalan. DS dipecat karena dianggap telah melanggar kode etik kepolisian. Setelah DS menolak memberikan uang pada si penipu, foto seksinya tersebar.

Lantas, apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku sekstorsi ?

1. Perilaku sekstorsi dianggap sebagai bagian dari korupsi, hal ini dianggap perlu karena sekstorsi hingga saat ini masih tergolong fenomena yang jarang terlihat sehingga kurangnya pemahaman di tengah masyarakat

2.  Membangun sistem pelaporan yang aman bagi para korban pemerasan seksual (sekstorsi) karena seringkali para korban takut melaporkan apa yang dialaminya akan berimbas pada karir dan kemampuan finansial terutama bagi mereka yang menjadi tulang punggung keluarga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun