Mohon tunggu...
吳明源 (Jonathan Calvin)
吳明源 (Jonathan Calvin) Mohon Tunggu... Administrasi - Pencerita berdasar fakta

Cerita berdasar fakta dan fenomena yang masih hangat diperbincangkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polemik Penentuan Nama Keluarga

24 Oktober 2018   16:23 Diperbarui: 24 Oktober 2018   16:25 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: abiummi.com

Sedari dulu, masyarakat dunia masih mengilhami paham patriarki dimana paham tersebut lebih menempatkan kaum adam sebagai pemegang tampuk kekuasaan. Hal ini masih dipegang hingga saat ini untuk daerah-daerah yang menganut adat-adat ketimuran, salah satunya Indonesia. Jika dilihat dengan realita saat ini, paham ini masih dipegang kuat oleh  rata-rata penduduk Indonesia (kecuali Orang Minang).

Di sisi lain, beberapa budaya masyarakat Indonesia turut mendukung suburnya paham ini misalnya saja penggunaan nama keluarga suami oleh istri setelah menjalani pernikahan yang menurut hemat saya semakin menonjolkan paham ini dan melemahkan perjuangan emansipasi wanita guna membentuk wanita yang percaya diri di atas kaki sendiri.

Sejarah 

Namun bila ditilik dari sejarah, kebiasaan tersebut sebenarnya telah dilakukan sejak zaman dahulu. Menurut majalah Seattle Bridge yang mengulas tentang perkawinan dalam artikel The History Behind Maiden vs Married Names yang ditulis oleh Stephanie Reid mengungkapkan awal mula kebiasaan tersebut berasal dari abad pertengahan tepatnya di Negeri Ratu Elizabeth. 

Pada masa tersebut, banyak orang memiliki nama panggilan atau "surname" dari nama baptis Agama Katolik namun seiring berjalannya waktu, banyak orang yang memiliki nama panggilan yang sama dikarenakan memiliki nama baptis yang sama. Terlihat membingungkan, masyarakat akhirnya memilih menggunakan nama panggilan berasal dari garis keturunan, pekerjaan ataupun dari kebudayaan lokal.

Sejatinya, pemakaian nama keluarga suami oleh istri belum diatur dalam Hukum Inggris hingga menginjak abad-9, seseorang yang berwenang membuat hukum kedudukan wanita bersuami yang berisikan seorang perempuan yang telah menikah sejatinya telah menjadi satu dengan suaminya sehingga memerlukan nama keluarga suaminya di belakang namanya. 

Namun, selain hal tersebut hukum mengenai kedudukan wanita bersuami juga "memaksa" para wanita untuk tidak terikat oleh suatu kontrak kerja, tidak dapat berhubungan dengan dunia pengadilan dalam arti mengajukan tuntutan, tidak dapat berpartisipasi dalam dunia bisnis hingga tidak boleh memiliki suatu "harta" berupa property tersendiri

Untuk itu, sekitar pertengahan tahun 1800-an, banyak wanita yang telah menikah namun tidak melegalkan status pernikahan mereka. Hal ini juga dibarengi dengan munculnya gerakan feminis yang menuntut hak milik (Property Acts) wanita yang telah bersuami di beberapa negara bagian di Amerika Serikat. 

Dari aksi tersebut. para kaum wanita akhirnya dapat memperoleh hak-hak mereka seperti penandatanganan kontrak kerja, terlibat dalam bisnis dan perdagangan, serta dapat mengklaim kepemilikan properti. 

Dari peristiwa itu, sejak  era 1970, Mahkamah Agung Amerika Serikat akhirnya melakukan revisi salah satu isi Hukum di Negara Bagian Tennessee yang mengharuskan wanita untuk mencantumkan nama keluarga suaminya sebagai persyaratan menggunakan hak pilih dalam pemilu. Selain itu, pada tahun yang sama juga muncul awalan Ms. sebagai penegasan terhadap identitas seorang perempuan terlepas dari status pernikahannya.

Perkembangan Terkini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun