Mohon tunggu...
jonansaleh
jonansaleh Mohon Tunggu... Ilustrator - Hands are the second thought

Tangan adalah pena dari pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Hanya Punya Satu Indera

5 Juni 2017   22:00 Diperbarui: 5 Juni 2017   22:04 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Sudah terbentuk namun tak dirasa

Sudah terasa namun tak peduli

Sudah peduli namun tak merawat

Mulai merawat namun terlanjur...."(Linang)

"Terlanjur...,terlanjur apa?", aku bertanya pada Linang. Ia tak mampu meneruskan. Wajahnya memerah, Sendu kelopaknya terpancar jelas saat ia mengusap butiran demi butiran linangan air mata yang menggelinding menuruni pipi ayunya. Pikirku, ia akan mendendangkan puisi baru untukku seperti yang biasa ia lakukan kala pagi mengufuk. Terdengar puitis, namun aku masih tak mengerti apa maksudnya. Ia pun menjelaskan seadanya tanpa basa basi ilmiah. Mulailah ia bercuap: 

  1. Cuapan Pertama: Beyond the limit. "Saya tak mau menyebut lagi kata global village, internet, dunia maya atau apa pun istilah yang kau sematkan untuk dunia saat ini. Yang pasti, aku masih saja takjub dengan segala yang terjadi di  sekitarku. Semua telah melampaui batasku sebagai indera kecil yang dipandang sebelah meski tanpa mata. Dengan akalnya, manusia menata dunia tanpa ampun. Dalil murni mengembangkan dan memajukan kehidupan dunia dan isinya kini perlahan sirna. Semua ini bukan salah yang empunya nalar. Ini murni kesalahan orang-orang yang memanfaatkanku"
  2. Cuapan kedua: Nonsense in Using Senses. "Dan inilah parahnya, manusia berbangga punya indera. Tak cuma satu, ada lima dan saling melengkapi-mendukung dalam mempertahankan hidupnya. Begitulah idealnya. Tapi apa?! Apa! Bukan nampaknya atau kelihatannya lagi, ini sudah nyata terjadi. Meresahkan. Telinga tak lagi mendengar, hidung tak lagi menghirup, kulit tak lagi merasa, lidah tak lagi berucap. Hanya ada aku yang kau sebut MATA. Hanya aku. Kau memaksaku mendengar celoteh-celoteh bangsamu yang kian hari kian menjengkelkan. Aku merasa rabun dan pekak mendengarnya. Dan kemana aroma keharmonisan yang kau bangga-banggakan dan lestarikan dulu? Aku kini terpaksa menghirup aroma sesajian maksiat, aroma kebencian yang dibumbui penyedap berbahan pengawet. Tampak segar namun sesaat. Hirup saja apa yang sudah kau pampang di mediamu. Hahaha. Media sosial? Aku hampir tersedak dengan nama itu yang selalu kau sanjung dan kau sembah seharian. Sampai lupa diri hidupmu dijajahnya. Kau pun merayu ibu jari untuk bermain peran sekedar like, to comment or...atau apalah tetek-teteknya. Kau ahli segalanya pada itu. Juga, kau pindahkan kulit padaku, menempel dan kau kaitkan padaku. Meracun aku untuk selalu merasa takut pada intimidasi atau persekusi, istilahmu. Bodoh amat. Semua kan kamu sendiri yang memulai. Kini tak ada lagi rasa simpati apa lagi empati pada sesamamu. Kau sendiri lupa diri. Indera saja akan empati bila salah satu sdr. Inderanya yang lain berkabung. Kamu? Miriss meyayat, kamu justru berdebat dan pusing dengan warisan ataukah tradisi. Pancasila ataukah anti PKI. Sampai lupa mengurusi jajan anakmu, atau mengatur pola makan dan tidurmu. Kiranya sudah banyak aku bercuap. Cukup sekian dulu, aku ingin segera tidur. Dan berharap aku dapat bangun besok dan merasa jika aku hanya bermimpi. Ini tentang Aku dan kamu. Kita".
  3. Cuapan Selesai. Ia menutup dengan dendang kangkung melupakan amarahnya. Selesai berdendang, ia kembali mengingatkan. "Jangan kau bebankan tugas inderamu hanya pada sebiji Mata. Ia hanya bertugas melihat. Dengarlah dunia sekitarmu. Jangan mau tertunduk dan terpaku pada alam maya. Itu bukan dunia. Itu hanya alam semu yang kau paksa menyatakannya. Dengarkan lagi kicauan burung di pagi hari, resapkan lagi saat kau dengar ayam berkokok. Janganlah dulu berpaling melirik pada FBmu, Insta-kilogrammu, WAmu, Jangan dengar dulu kicau Twittmu. Yaaaa...berdoalah. Jangan sampai lupa. Berdoa juga untukku agar aku tetap sehat dan kau tak mendapati aku sedang buta di suatu hari nanti. Harapku. Eh, Sekian dulu. Kututup"

Poris, 05 Juni 2017: Mata bercerita

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun