Mohon tunggu...
Frumentius Jonathan Mac Sosa
Frumentius Jonathan Mac Sosa Mohon Tunggu... Supir - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang memiliki hobi public speaking dan tidur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mari Mengenal "Poverty Porn" dalam New Media

10 Desember 2021   11:38 Diperbarui: 10 Desember 2021   12:06 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: nonprofitquarterly.org

Kira-kira, adakah diantara anda yang sering melihat orang kaya membagikan uang kepada orang miskin di sosial media? Atau, adakah di antara anda yang bahkan suka menonton kisah orang tidak mampu menangis, merasa kasihan sehingga ujung-ujungnya ikut berdonasi atau bahkan memberikan bantuan lewat media-media tertentu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering muncul di dalam benak saya sebagai pengguna media sosial aktif. Belakangan ini, banyak sekali video, foto, atau tulisan yang menjadikan ‘kemiskinan’ sebagai sebuah konten untuk menghasilkan pundi-pundi uang bagi mereka yang membuatnya. Cara yang digunakan pun beragam dan cenderung dibuat dramatis sehingga akhirnya dapat memperoleh simpati dari publik. Inilah yang disebut ‘poverty porn’.

Poverty porn pertama kali muncul pada konser amal bertajuk Live Aid di Inggris pada tahun 1985. Kala itu, banyak musisi papan atas, seperti Band Quinn yang ikut serta di dalamnya. Acara tersebut ditunjukkan untuk menggalang dana bagi warga di Ethiopia yang diperlihatkan di berbagi foto sedang mengalami kesulitan dan butuh pertolongan. Sementara itu, secara tidak langsung, kaum kulit putih dianggap seolah-olah sebagai malaikat penolong.

 Tentu, hal ini menghasilkan stereotip di masyarakat yang kemungkinan masih bertahan hingga detik ini. Tembok antara kaum kaya dan kaum miskin semakin tinggi, pengetahuan semakin dicondongkan ke arah kapitalis-kapitalis barat pecandu kekayaan. Saya sendiri, sampai umur 16 tahun masih menganggap bahwa negara-negara di Afrika itu miskin. Padahal, bila mencari dari sumber dan data  yang valid dan benar, kenyataannya tidaklah demikian.

Poverty porn ini cenderung berfokus pada subjek yang mengalami kemiskinan tanpa melihat faktor struktural yang mendasari munculnya kemiskinan ini. Pandangan masyarakat dibuat seolah-olah kabur terhadap masalah utama kemiskinan tersebut. Tidak hanya itu, masyarakat menjadi adiktif terhadap situasi kemiskinan yang secara kasat mata, malah mendulang popularitas poverty porn semakin tinggi dan mengakar terus menerus.

Sebut saja acara “Uang Kejutan”, “Renovasi Rumah” (semua disamarkan), atau acara-acara televisi yang membawa kemiskinan sebagai bentuk tontonan bagi masyarakat. Karena menarik, mendongkrak rating, mendulang popularitas dan kekayaan, acara-acara ini masih menjadi formula yang terus digunakan oleh banyak stasiun televisi. Akibatnya, tontonan-tontonan seperti malah menjadi budaya yang hadir dan berkembang di masyarakat.

Seperti yang saya bilang di awal, tentu pengguna internet, terutama media sosial sekarang sudah lebih banyak daripada pengguna televisi. Maka dari itu, formula-formula yang hadir di televisi tadi akhirnya dibawa masuk ke media sosial. Tentu, bila kita sadar, kita akan paham bahwa hal-hal ini tidak bisa dibenarkan. Namun, karena telah menjadi budaya yang mengakar, tentu hal ini sulit untuk dihindari.

Selain mengaburkan pandangan masyrakat terhadap kemiskinan, ‘poverty porn’ juga menebalkan stigma orang dengan kemiskinan dan melanggengkan mitos-mitos kemiskinan. Dalam beberapa informasi di media sosial misal ada berita tentang anak keluarga miskin yang berhasil masuk perguruan tinggi. Bila kita lihat secara mendetail, hal ini dapat menyebabkan masalah akses pendidikan jadi kabur dan mitos kemiskinan karena sifat malas mengakar di masyarakat.

Dalam era new media sekarang, orang-orang semakin pintar untuk menggunakan masalah kemiskinan sebagai sebuah konten. Dengan diiringi backsound lagu yang mendukung, ilustrasi yang dramatis, serta tulisan-tulisan yang membuat kita sebagai penonton semakin simpati, rasa-rasanya formula ini akan bertahan sangat lama dan terus digunakan berulang. Dengan begitu, si kaya akan tetap kaya, si miskin akan tetap miskin.

sumber gambar: thevisualcommunicationguy.com
sumber gambar: thevisualcommunicationguy.com

Jika anda belum paham akan hal tersebut, mari coba kita masuk lebih dalam lagi. Misal ada seorang kreator yang memberikan uang 10 juta rupiah kepada orang yang bisa dikatakan miskin. Kira-kira, uang tersebut akan digunakan dalam jangka waktu yang berapa lama? Kita bisa berandai mungkin saja uang tersebut langsung digunakan pada waktu-waktu dekat dan langsung habis karena hutang, kebutuhan mendesak dan sebagainya. Apakah masalah kemiskinan selesai?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun