Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Penulis buku dan penulis opini di lebih dari 150 media berkurasi. Penggagas Komunitas Seniman NU dan Komunitas Partai Literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eh, Benarkah Kita Cinta Sama Tuhan?

14 Januari 2023   09:01 Diperbarui: 14 Januari 2023   09:06 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cinta Tuhan | pixabay.com/john1cse

Rutinitas saya pagi sampai sore adalah buruh pabrik, setelahnya menjadi pelayan umat. Ada jadwal rutin ngaji baca Alquran dan tafsir, pelatihan digital, dan konsultan masalah kehidupan. Kesibukan itu saya pahami sebagai pesan simbolis dari Cak Nun ketika menemui saya dimimpi dan mengajari "azan". Ya, saya sedikit diwarisi pancer Maiyah tersebut cara memanggil orang datang dan memberikan beberapa petuah-petuah hidup.

Saya tidak punya keahlian berpakaian syariah (bersorban dan berjubah), tidak juga diwarisi jiwa santri (berkopian dan bersarung). Ibarat tren dakwah sekarang mirip Habib Husein Ja'far Al Hadar dengan pemuda tersesatnya. Kebanyakan tamu yang mampir di gubuk saya adalah manusia-manusia yang mengaku dirinya tersesat dan penuh dosa.

Ternyata metode dakwah tidak melulu menggunakan dalil dan kisah-kisah para nabi atau ulama. Saya biasanya hanya mengajak berpikir tentang membosankannya hidup di surga dan fokus mencintai Tuhan. Beberapa kali saya pancing logika berpikir keimanan yang selama ini disandarkan pada sikap taklid dan fanatisme pada ulama atau tokoh tertentu.

Saya sering memancing pertanyaan-pertanyaan menggelitik seputar ketauhidan seperti benarkah kita mencintai Tuhan? Atau selama ini hanya pura-pura cinta kepada Tuhan?

Biasanya akan mudah dijawab dengan mengatakan, "aku cinta kepada Tuhan". Memberikan bukti ketekunan beribadah seperti salat, puasa, sedekah, dan lain sebagainya. Namun ketika saya berikan analogi cinta kepada Tuhan dengan pasangan, mereka kembali berpikir dan merenung. "Oh, selama ini rupanya hanya pura-pura cinta kepada Tuhan,"

Ketika cinta pada orang yang kita cintai, kita akan selalu merasa senang ketika hendak berjumpa (nge-date). Saat perjumpaan, kita selalu betah dan ingin berlama-lama. Tidak ada pikiran selain selain kebahagiaan berdiskusi dan curhat dengan pasangan kita.

Nah, Tuhan juga begitu adanya kepada hamba-Nya (kita). Kita sering berjanji ketemuan dengan Tuhan jam setengah lima pagi, namun kita sering telat datang. Beberapa kali mengingkari janji dengan dalih kesibukan. Saking cintanya Tuhan kepada kita, Dia menanti janji berikutnya jam 12 siang atau jam tiga sore. Namun juga kerap diingkari.

Sekalinya menepati janji jam enam Maghrib, kita buru-buru tanpa ada perasaan ingin berlama-lama saling pandang dan bertukar kisah. Meski cinta Tuhan sering bertepuk sebelah tangan denagn kita, namun Dia tetaplah mencintai kita dan menunggu waktu yang tepat untuk bisa berlama-lama "bercinta" sebelum kita mati.

Relasi Ibadah

Bagaimana kita bisa mengatakan cinta kepada Tuhan jika menjumpainya hanya saat dibutuhkan?

Relasi ibadah paling agung itu cinta. Bagi muslim amatir, relasi ketuhanan hanya dikonsepkan sebagai kewajiban. Seperti perintah dosen kepada mahasiswanya, manajer kepada bawahannya, atau Megawati kepada Jokowi. Apa pun yang diperintah harus dipatuhi tanpa ada hak untuk menolak.

Level berikutnya adalah relasi kebutuhan. Ibadah dilakukan karena mengharapkan hajat tertentu. Biasanya meminta amalan atau wirid-wirid tertentu untuk memenuhi keinginannya. Tuhan diibaratkan sebagai pembantu yang dipaksa mencukupi segala hal yang dibutuhkan. Apabila tidak dipenuhi keinginannya, kita kecewa -hingga marah- dengan tidak beribadah. Seolah Tuhan itu butuh ibadah kita.

Relasi puncaknya adalah cinta. Membalas cinta Tuhan yang agung tanpa pamrih. Selalu bahagia saat menunggu perjumpaan dengan-Nya. Tidak meminta apa pun selain perjumpaan atas kerinduaan yang selama ini dipendam. Dalam relasi cinta, kita akan menghilangkan diri kita selain memikirkan yang dicintai. Resah ketika tidak menjalankan apa yang diinginkan yang dicintai.

Ketika sudah cinta kepada Tuhan, kita tidak akan khawatir lagi pada nasib dunia selain perasaan bersyukur. Tidak lagi berharap surga dan takut neraka karena yang dibutuhkan hanya keridaan yang dicintai. Melepaskan keterikatan pada nafsu dunia. Meyakini Tuhan akan memberikan segala hal yang diinginkan jika ada relasi cinta di antara keduanya.

Tapi Tuhan kan tidak berwujud materialistik?

Terlalu saru mengatakan Tuhan tidak berwujud, namun bukankah cinta tidak mengenal rupa selain perasaan nyaman?! Jadi silakan ditanyakan kembali kepada diri kita masing-masing. Kita lebih mencintai Tuhan atau seseorang yang diciptakan Tuhan?!***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun