Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Penulis buku dan penulis opini di lebih dari 150 media berkurasi. Penggagas Komunitas Seniman NU dan Komunitas Partai Literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kredibiltas Dakwah Digital

23 Desember 2022   15:45 Diperbarui: 23 Desember 2022   15:50 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredibiltas Dakwah Digital | pixabay.com/Skitterphoto 

Generasi milenial dimanjakan dengan sajian dakwah ringkas, padat, dan jelas (tidak bertele-tele) melalui kanal siber (internet). Mungkin mayoritas masyarakat sudah menggunakan gawainya untuk berselancar mencari kajian yang dianggapnya cocok dengan kebutuhan problem kehidupannya. Apalagi media sosial menawarkan berbagai konten dengan audio visual yang menarik untuk anak-anak muda.

Perkara lokasi dan keadaan kegiatan belajar agama (majelis atau pondok pesantren), dakwah digital menjadi solusi alternatif masyarakat yang tidak punya akses menempuh pendidikan agama secara luring. Bahkan berbagai materi dan kajian kitab pondok pesantren disediakan secara bebas, baik dalam bentuk softfile atau kajian yang dibuat konten oleh kiai atau ustaz tertentu.

Problemnya adalah ketidaktekunan dan ketidakseruisan seseorang mengaji. Dalam kondisi belajar di pondok pesantren, santri dibelaki karakter kedisiplinan dan ketekunan mengaji. Sepanjang hari kehidupannya dihibahkan untuk saling belajar terkait bab keagamaan. Materi yang disediakan juga jelas secara sanad dan nasab kitab atau pengajarnya.

Sementara di media maya, orang cenderung malas dan menomorduakan kegiatan mengaji dibanding rutinitas sehari-hari. Sehingga ngaji hanya dijadikan selingan atau iringan audio saat bekerja atau menjelang tidur. Dampaknya adalah kepekaan pemahaman keilmuan yang berbeda sebab niat belajar di pondok pesantren untuk meningkatkan nilai spiritualitas, bukan hanya kajian sepotong yang tidak jelas rujukan yang disampaikan.

Tak heran banyak yang tidak mampu bersikap toleran menerima ragam tafsir dari ribuan kitab yang ada di pondok pesantren. Dakwah digital tidak ada metode interaksi antara santri (murid) dengan kiai (guru). Selain itu juga tidak memfasilitasi keluasan cara pandang setiap orang yang punya kegelisahan melihat fenomena keagamaan. Belum lagi kalau kita bahas karomah, sanad, dan adab di pondok pesantren yang tidak didapat ketika menjadi santri online.

Kepakaran Ulama

Indonesia yang menganut asas demokrasi dengan sila pertama sebagai pondasi berbangsa dan bernegara tidak dapat membatasi setiap warga negara memilih ideologi dan aliran yang dipilih. Era teknologi digital, dakwah yang menawarkan visual kajian yang menarik akan cenderung diikuti dan punya banyak pengikut. Masyarakat yang awal pembekalan materi keagamaan (sejarah dan isu politik keagamaan) tidak akan memahami nilai dan substansi kajian yang ditawarkan.

Manipulasi ulama menjadi kegelisahan banyak pemerhati dunia digital demi motif popularitas dan ekonomi semata. Menggadaikan umat dan memperjualbelikan agama untuk kepentingan pribadi. Jarak emosional antara guru dan murid yang terbatas melalui medium daring dijadikan momentum oknum "penjual agama" untuk memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat seputar agama. Doktrinasi ajaran yang berpotensi menyimpang lambat laun menjadi konsumsi rutin untuk dijadikan modal pergerakan merongrong dasar negara.

Seseorang yang punya gelar Lc biasa dijadikan parameter kepakaran ulama pantas dan tidaknya berdakwah di media. Lc merupakan gelar yang didapatkan seseorang dari lulusan universitas yang berada di kawasan Timur Tengah, seperti Yaman, Sudan, Pakistan, Mesir, dan lain-lain. Bahkan sikap fanatisme beragama kadang menyandarkan kebenaran kepada mereka yang bergelar Lc untuk menyalahkan dan menyesatkan ulama atau kiai pondok pesantren yang sepanjang hidupnya belajar keagamaan.

Seolah gelar Lc adalah pewaris kebenaran beragama. Sementara bagi yang paham gejolak sejarah ideologi Islam dan politik agama, parameter ulama hanya dari lulusan kampus di Timur Tengah akan menjadi bahan leluconan. Bahkan ada kisah Gus Dur enggan melanjutkan kuliah di Al-Azhar Mesir hanya karena materi kuliahnya sama dengan kajian yang dipelajarinya di pesantren waktu kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun