Seringkali saya berdebat dengan orang yang paham hukum ketika di tongkrongan. Salah satunya perkara boleh-tidaknya memberi uang kepada pengemis atau pengamen. Menurutnya, memberi uang kepada pengemis berarti melegalkan praktek eksploitasi pada anak-anak. Ya, maksudnya adalah pengemis yang menggendong bayi dan sang bayi dengan nyenyak tidur seharian. "Itu, akibat sebelum mengemis bayinya disuntik narkoba. Biar tidur seharian," katanya.
Sementara memberi uang pengemis, berarti mengajarkan seseorang untuk tidak produktif. Apalagi isu pengemis yang suka membelanjakan hasil ngemisnya untuk membeli minuman keras dan sewa PSK. Diskusi berlanjut bahwasanya pengemis bisa meraup duit 300 hingga 500 ribu per hari. Edan! Lima kali gajiku di pabrik.
Pikiranku tambah gatal ketika buka beranda Instagram saat @agendasolo yang memposting, "Karanganyar Larang Kasih Uang ke Pengemis hingga Pengamen di Jalan, Ada Sanksi Denda Rp 50 Juta,". Kemudian iseng buka aturan tentang pelarangan memberi uang kepada pengemis di Karanganyar yang menampilkan Perda 25/2016 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Ternyata aturan ini masuk dalam perda yang diberlakukan di beberapa kota di Indonesia.
Sebab sudah ada aturan hukum, maka memang sah bahwa masyarakat Indonesia dilarang memberi uang kepada pengemis dan pengamen. Alasan menguatkan pelarangan santunan kepada mereka seperti terlalu memanjakan orang untuk malas bekerja (tidak produktif), mengganggu kenyamanan umum, dan tindak eksploitasi yang dilakukan orang-orang kaya raya di balik layar.
Mungkin masyarakat juga semakin marah ketika melihat penghasilan pengemis dan pengamen yang ternyata jauh lebih besar dari pada mereka yang memberi. Masyarakat merasa tertipu dengan akting pengemis dan pengamen dengan pakaian sekadarnya. Apalagi Indonesia masuk dalam kategori negara paling dermawan di dunia.
Berdasarkan World Giving Index 2022 yang dirilis Charities Aid Foundation (CAF), Indonesia menduduki peringkat 1 dari 119 Negara paling dermawan di dunia. Diperkirakan ada 8 dari 10 orang Indonesia sering bersedekah dan 6 dari 10 orang pernah menghabiskan waktu sebagai sukarelawan. Memang negara paling bermoral dengan perasaan iba dan empati yang tinggi.
Wajar juga sih tiap menghadiri salat Jumat di berbagai masjid, mayoritas jamaah mengeluarkan uang dari sakunya yang nilainya tidak sepele. Kadang uang warna biru bergambar Ir. H. Djuanda Kartawidjaja masuk mulus dalam kotak amal. Belum lagi kalau ada konten kemiskinan dan bencana alam yang dipromosikan di KitaBisa.com yang dalam sekejap terkumpul beberapa juta.
Namun aturan pelarangan memberi uang kepada pengemis dan pengamen membuatku ragu terhadap pemangku kebijakan (pemerintah). Masyarakatnya boleh bermoral, namun negara menghalanginya dengan aturan hukum. Pokoknya, Warga Negara Indonesia tidak boleh bermoral agar sama dengan negara-negara maju lainnya.
Apakah saya melegalkan eksploitasi anak disuntik narkoba untuk mengemis?
Heh! Ini bukan perkara membolehtidakkan eksploitasi anak. Lhawong itu juga isu simpang siur yang tidak pasti kebenarannya. Siapa tahu pengemis itu memang susah mencari pekerjaan dan ditinggal suaminya. Melamar kerja susah karena pemerintah tidak bisa menjamin pekerjaan yang layak bagi semua masyarakat. Belum lagi kebutuhan hidup yang terus meningkat. Masak sama sekali tidak ada perasaan empati.