Ini sajian pembuka dalam seri "Lek Lek Ngayogyakarta".
Ibuku, Musiyem namanya, Â orang Jogja tulen, wong Mbantul. Ia bungsu lima bersaudara anak pasangan Mbah Resodimedjo, warga Manding Serut wetan kali Winongo. Pada 1956, ia menikahi Toekidjo, pemuda ganteng asli Wonosobo. Jeng Mus pun hijrah dari masyarakat pesisir jadi warga pegunungan.
Di Wonosobo, dalam seruas masa, Jeng Mus pernah jualan gudeg di area terminal lama Wonosobo. Persisnya di pelataran bioskop Dieng. Keduanya, terminal dan bioskop, kini tinggal sejarah.
Gudeg Jeng Mus cukup lejen hingga acap diborong oleh Bupati Darojat untuk hajatan di Kabupaten. Kalau tidak, bakul gudegnya yang dibooking masak di dapur pringgitan kantor Bupati. Maklum, gudeg Jeng Mus adalah gudeg Jogja tulen.
Sejoli Musiyem - Toekidjo produktif benar dalam hal omah-omah. Dalam tempo 16 tahun, mereka sudah punya momongan delapan nyawa. Yang terakhir, mbrojol tahun 1972: aku.
Banyak anak kebutuhan tambah banyak. Gaji Toekidjo sebagai juru reklame bioskop Dieng plus uang pensiun dari Dinas P&K Wonosobo tekor.Jeng Mus, yang berkawan karib dengan Bu Bero, pemilik toko emas dekat dia jualan gudeg, mencoba peruntungan baru.
Jeng Mus alih profesi jadi pedagang perhiasan emas, spesialis yang bertatahkan permata, intan, dan demen (diamond, yang dimaksud adalah permata imitasi). Dagangan itu diambil dari toko Bu Bero yang punya sebelas anak. Bu, bukan Jeng lagi, Mus keliling dunia menjajakan aneka bentuk perhiasan itu, door to door.
Sejak saat itu, tak ada lagi gudeg Jogja tulen di Wonosobo, kecuali, sesekali, di rumahku. Hanya di rumahku.
Lalu menikahlah kakak sulungku pada 1985. Calon suaminya, lagi-lagi, orang Jogja tulen. Piyantun Pakem, Sleman. Untuk mangayubagya pinanganten, pesta prasmanan tentu disiapkan. Menu utamanya, tak boleh tidak, gudeg Jogja. Tulen.
Tapi Bu Mus, shohibul hajat, tentu tak boleh masak. Maka demi menjaga tulenitas, diboyonglah Mbokde Ngatmo, kakak ipar Bu Mus, langsung dari Manding Serut.