Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Millenials dan GenZ Hidup di Zona Nyaman?

9 Desember 2022   07:11 Diperbarui: 9 Desember 2022   09:28 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Close The Door edisi Menlu Retno Marsudi (sumber: bonsernews.com)

Baiklah, setelah syaraf-syaraf otak dibikin crash oleh jubelan kabar gempar yang seolah tak berujung, kita healing sejenak. Tepikan dulu soal ancaman krisis global, degradasi lingkungan, perang, bencana alam, copras capres, undang-undang, korupsi, pembunuhan berencana, pembantaian penonton bola, ilegal bolong, eh, mining (ilegal fishing enggak, itu cerita lama), sekeluarga mati mengering, mayat dalam troli, mati diracun anak sendiri, bom bunuh diri... Gusti Allah, seruwet itukah?

Healing pake Piala Dunia? Enggak lah. Ngomongin PD Qatar serasa nyimak fabel haji Roma tentang kuman di seberang lautan dan gajah di pelupuk mata. Bikin minder. 

So, mari bicara yang enteng-enteng saja, tentang generasi rebahan. Generasi game online, free wifi hunters, generasi yang lebih suka berkelana di jagad Meta. Tak ada Ferdy Sambo di sana.

Biang keroknya adalah si gundul Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo yang insyaAllah bentar lagi pergi haji, amin. Dalam obrolan terbarunya, Deddy memuji lawan bicaranya Bu Menlu Retno Marsudi sebagai strong man. Tentu apresiasi sundul langit itu berbasis sukses presidensi ji twenti Indonesia yang memuncak di KTT G20 yang baru lalu, amin juga.

Corbuzier perlu mengutip quote psikolog Jordan Bernt Peterson di bukunya "12 Rules of Life" yang berbunyi "it's better to be a soldier in a garden than a gardener in a war". Pepatah lawas bangsa oriental itu memang layak dialamatkan ke Bu Retno cum suis sebagai diplomat yang berhasil mencetak banyak goal di KTT G20. Hal tak gampang di tengah geopolitik yang lagi tegang. (Podcast selengkapnya dalam attachment, simak jika sesuai selera. Endorse nih, bro.)


Deddy kemudian mengutip quote panjang lain (yang ini keknya dia kagak ngarti sumbernya, xi..xi...): "Hard times create strong men, strong men create good times, good times create weak men, and weak men create hard times" (dari salah satu novel "postapocaliptic"-nya G. Michael Hopf, novelis Amerika).

Maka berdongenglah Bu Retno tentang masa lalunya untuk mengafirmasi Deddy. Bu Menlu bertutur tentang periode "hard times" dalam kehidupan beliau yang berperan besar membentuk karakternya sebagai "strong man".

Situ pasti familiar dengan plot dongeng macam itu. Nih buktinya: "Bapak dulu sekolah jalan kaki, gak bersepatu, ngerjain PR di depan lampu teplok... ibu dulu harus bersabar berhari-hari sekadar dapet balasan surat cinta dari bapakmu". Dulu segalanya serba sulit, serba lambat. Sekarang semua jadi gampang, jadi cepat.

Lantas, apa hubungannya dengan generasi rebahan?

Rupanya Kaka Deddy merasa prihatin dengan lingkungan dan gaya hidup millenials + genZ. Beliau (cie.. beliau) menganggap generasi rebahan berada di periode good times hasil kreasi para strong men macam Bu Menlu dan Deddy yang sampai uzur masih kerja keras, minimal buat jaga body.

Generasi rebahan dimanjakan oleh teknologi, stabilitas keamanan dan politik, dan seabrek fasilitas yang mengurung mereka di zona nyaman. Mereka tidak ikut perang, tidak nyicipi rezim presiden seumur hidup dan duit digunting. Mereka tidak merasakan kengerian gestapu, gawatnya Orde Baru dan ontran-ontran Mei 98. Covid 19 malah bikin mereka makin khusyuk rebahan. They are secure. Padahal masa depan dunia, kata Pak Presiden Jokowi dan  Bu Menkeu Anik, "susah dihitung, sulit diprediksi, hati-hati!"

Menurut Deddy, bila sikon ini keterusan, niscaya masa depan kita akan ditentukan oleh kaum weak men, umat gardeners in a war. Gawat, sungguh. Kita ada di pinggir jurang.

Maka, sebagai netijen yang baik, sinyalemen itu perlu dikonfirmasi pada yang bersangkutan dengan metoda random sampling. Iya donk...

Terpilihlah Mha, santri millenial yang memilih ngaji di pondok pesantren kecil di kaki gunung Sumbing ketimbang melanjutkan sekolah.

Setelah menyimak dengan ogah-ogahan podcast Deddy episode pinggir jurang itu, Mha ngasih klarifikasi. Verbatimly, begini katanya:

"Dad, there are soldiers for every wars. You can not judge which soldiers are better. No Dad, we're not living in a good time. It is a symptom of the old men syndrome when you say that. 

You know Dad, the hardest challange we must deal with is the existance of old men like you. Whom to blame when there are wars, global crisis, corruptions, drugs expansion... premeditated murder? Come on, Dad...

"And Dad, have you already read "Father Forgets" by W. Livingstone Larned in Dale Carnegie's book "How To Win Friends and Influence People"? I watched "Close The Door",  you should read the book!" (John Doe's monologue)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun