"Itu membuktikan ada kesalahan dalam pertanyaan Aristoteles. Harusnya kalam itu bunyinya 'Tuhan mencipta' saja, bukan 'ketika Tuhan mencipta'. Sebab Tuhan, sang Ada itu ndak diliputi ruang dan waktu. Maka benarlah Plato bahwa waktu itu datang bersamaan (konsekuen) dengan eksistensi." (Catatan pinggir: pusing enggak sih?)
"Buktinya?" kejar Mas Wim(ar), benar, pusing!
"Itu karena Aristoteles, sebagaimana kebanyakan kita, mengasumsikan waktu sebagai sesuatu yang bergerak. Bahkan filsuf modern ada yang bilang geraknya linier. Ngaco itu.
"Gerak itu sifat eksistensi, sifat "mahluk" ciptaan Tuhan. Sebagai konsekuensi atas gerak, waktu itu diam. Justru karena waktu itu diam, ia menjadi penanda adanya gerak, adanya kehidupan. Semua ciptaan Tuhan itu hidup; bergerak. Hanya waktu yang anteng bae karena dia konsekuensi adanya gerak."
"Emang semua ciptaan Tuha begerak, John? Batu?"
"Buset dah, bumi aja muter, rotate, sekaligus ngider, revolute. Semesta ini bergerak, apalagi batu, dia cuma part kecil dari kosmos. Cetek amat lo mikirnya, Mas?
Itu gue belon bilang kalau gerak itu semua sirkular, makanya kalau gerak sirkular itu ditengarai dengan sesuatu yang diam, terhadilah pengulangan alias siklus. Senin ketemu Senin lagi. Perang, anteng, perang lagi, dan lagi dan lagi."
Wimar garuk-garuk kepala, bukan keder, tapi ketombean. "Eh, John, tunggu, emang batu juga mahluk hidup?"
"Dia bermetamorfosa, bergerak juga. Lo bilang enggak hidup?"
"Okede. Jadi semua eksistensi itu hidup, bergerak. Yang ngejubleg cuma waktu, yang gak gerak. Yang gak hidup?"
"Persis."