Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sandyakala Jejak Pena

16 Januari 2022   10:58 Diperbarui: 16 Januari 2022   23:25 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak korban konflik di Garrisa, Kenya belajar menggambar.  Sketsa karya Farid Shan, ink on paper 30cm x43cm, 2013. (istimewa) 

Surat ke dua untuk dinda Dim.

Dinda, menyambung suratku dulu, sebenarnya aku masih ingin berkalam tentang pentingnya revolusi dunia pendidikan. Tentu agar nyinyiranku tak jatuh sebagai kritik dekonstruktif belaka.

Tapi kau tahu watakku: aku enggan menulis ulang teori-teori muluk hasil nilep pemikiran orang, mengolahnya dengan keterampilan bermain kata, lalu menyajikannya dengan kemalasan kronis untuk sekadar membuat catatan kaki, atau minimal bilang: wa Allah hu a'lam. Apalagi nekad menyuguhkan kutip sana sini itu secara mentahan. Emangnya lalap!

Memang mustahil memproduksi teks orisinil. Manusia tidak punya kapasitas melakukan creatio ex nihilo. Tapi setidaknya, aku selalu berusaha menyajikan sintesa setelah meramu tesa dan anti tesa para pendahulu dengan fakta empirik, baik dari pengalamanku pribadi atau amaliyah orang lain yang betul-betul kukenal dan kupelajari.

Harapanku, dengan cara itu teks yang kuproduksi bukan sekadar merepetisi pengetahuan. Bukan buket kembang, tapi putik bunga baru yang menyimpan madu.

Alasan lain aku belok topik pembicaraan: semalam Mha mampir ke rumah bersama seorang kawannya. Di antara ragam obrolan bapak-anak, ada terselip pertanyaan teman Mha yang mengejutkan. "Saya suka nulis cerpen, gimana caranya agar cerpen-cerpen saya dibaca orang?"

Menggelitik, tapi sebentar dinda, kita mundur setapak.

Beberapa hari sebelumnya, aku simak keprihatinan kanda Dais (Dahlan Iskan) tentang merosotnya kepercayaan publik pada media massa. Setelah tak cermati hasil survey Dewan Pers bekerjasama dengan Universitas Moestopo Beragama yang jadi acuan Dais, nyatanya tingkat kepercayaan itu masih tinggi.

72% adalah  skor tertinggi tingkat kepercayaan publik pada media massa (non daring) dari beberapa negara yang disurvey. Bahkan, bisa jadi itu level tertinggi seluruh dunia.

Tapi skor itu tetap mengkhawatirkan, sebab jika skor jatuh di bawah 60%, dinda boleh cemas bahwa salah satu pilar demokrasi sudah runtuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun