Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suhu

25 November 2021   18:37 Diperbarui: 25 November 2021   19:13 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Mengenang 100 Tahun Buya Hamka (Sumber: Toko Balzac, Bukalapak) 

Cecilia A. Indra, guru Bahasa Indonesia di sebuah SMP Swasta di Wonosobo tempat awak pernah jadi siswa dulu. Kalau Dr. Felicia Nuradi Utorodewo sewaktu jadi host program "Pembinaan Bahasa Indonesia" di TVRI era 80an secara sepihak  awak anggap sebagai guru virtual, Bu Cecil adalah personifikasinya (sekali lagi, versiku) di alam nyata. 

Merekalah inspirator utama yang mendorong awak kelak menggeluti dunia kepenulisan. Bukan, bukan karena Bahasa Indonesia begitu menarik, tapi Bu Ut yang cantik dan jernih menyampaikan materi lah yang membuat terpikat pada bahasa. 

Bu Cecil? Ssstt.., jangan bilang siapa-siapa: padanya untuk pertama awak merasakan jatuh cinta. Benar, meski usia kala itu baru 14 tahun, kutulis selembar surat cinta (pakai mengutip syair-syair Ebiet GAD pula) dan sampaikan padanya. Wiii... oedipus complex nih ceritanya, xi.. xi.. xi... 

Jadi, kalau mesti membuat tulisan untuk "mengenang guru", sansai jua awak dibuatnya (pinjam puisi guruku yang lain: Buya Hamka). Soalnya, orang macam awak ini belajarnya informal sehingga relasi murid-guru tidak mungkin didefinisikan secara formal juga. Itu sebabnya siapa saja, bahkan apa saja, bisa awak jadikan guru. 

Buya Hamka misalnya. Secara periodisasi, tak mungkinlah awak menimba langsung sumur keilmuan yang beliau miliki. Namun ketika awak ketiban rejeki diminta ikut menulis buku "100 Tahun Buya Hamka" terbitan Yayasan Pesantren Islam Al Azhar, puluhan buku karya beliau mesti awak santap tuntas sebagai sumber referensi. 

Dari sebulan lebih tak ada kerjaan lain kecuali membaca karya-karya Buya dan menulis semacam sumary biografi beliau, proses belajar mengajar secara imajiner terjadi.

Karena dari proses itu awak mendapat begitu banyak ilmu dan inspirasi, maka dengan lancang awak membai'at diri sebagai murid Buya Hamka. Biar keren gitu... 

Lalu, bagaimana pula awak mesti mengenang guru? Apakah menulis soal legacy ilmu yang mereka lungsur- kan ke awak? Atau bagaimana proses pembelajaran itu menjadi inspirasi yang melahirkan semacam sintesa keilmuan dalam diri awak? Nanti dulu. 

Ada pula awak mengoleksi 12 kumpulan Catatan Pinggir Goenawan Mohammad dan kumpulsn esai beliau lainnya yang entah berapa puluh kali masing-masing volumenya awak baca ulang. Sehingga kadang, sengaja atau tidak, saat membuat satu tulisan, gaya-gaya GM yang puitik filosofis kebawa-bawa dalam kadar sekapasitas awak bisa. 

Kalau kemudian dalam tulisan itu tersirat juga pengaruh surealisme ala almarhum Danarto dan atau kelugasan yang sederhana model Pramoedya, bukankah awak kencing berlari karena para Suhu itu kencing berdiri? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun