"Pilih Infinity War apa End Game?" Tanya bapak pada anak. Bapak hampir limapuluh, anak baru kelas dua SMA kalau dunia masih seperti sebelum 2020. Mereka jarang bersama. Berkah 'semua dari rumah saja' membuat anak malas terus sekolah. "Gak bisa berantem sama teman," katanya.
Si bapak, sudah dari sononya tidak suka dengan pendidikan model sekolahan, baik kala normal, new normal, apalagi abnormal. "Hanya pabrik untuk mencetak robot penggerak gir kapitalis, tidak berubah sejak  jaman politik etics mewarnai kolonialisme Belanda. Eksploitasi  SDM anak negeri sendiri secara masiv, struktural, dan formal. " kata bapak. Makanya, dia senang anak berhenti sekolah. Toh, satu-satunya alasan si anak dulu sekolah hanya untuk menuruti keterbatasan ide tentang pendidikan yang dimiliki ibunya.
"End Game menurutku terlalu sederhana. Persoalan  complicated di IW penyelesaiannya terlalu gampang di EG. Kek kehabisan ide," jawab anak.
"Kek covid 19, ya?"
"Kok bisa?"
"Persoalan yang begitu kompleks, biasanya solusinya sederhana. Ketemu kalau kamu tidak ikut terjebak dalam keruwetan," kata bapak.
"Speak cara jawa, please..."
"Look, udara bersih, gak ada sinyal seluler, nyanyian burung..," mereka berada di puncak gunung Sindoro kalau pembaca kepo pada narasi si bapak, "kita di sini, bebas dari segala centang perenang di bawah, di Indonesia. Kita imun."
"Tapi nanti kita turun lagi, ikut Indonesia lagi. Trus, kalau kita pilih cari aman, gimana dengan Ni Luh dan Sena yang lagi isoman? Bude Ida yang wafat akibat corona? Kita bagian dari kosmos, bukan Tanos," protes anak.
Bapak tertawa, senang anaknya cakap berargumen.
"Kita pulang, dengan kebahagiaan yang kita tular-tularkan seperti virus. Semua hanya persoalan sudut pandang. Dengan begitu kita punya harga sebagai bagian dari Indonesia."