Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

OOTKK *) Satu

20 Juni 2021   02:01 Diperbarui: 20 Juni 2021   21:16 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti yang ditakutkan, setelah pensiun dari Korps Baret Miring dengan pangkat terakhir sersan dua (aslinya satu, tapi satu lagi diberikan bareng dengan deadline pensiunnya agar uang pasca bakti lumayan layak) Prajoko tak kunjung beroleh ganti pekerjaan.

Pernah setahun jadi satpam di pom bensin, penyakit encok karena keseringan duduk dan belaian angin malam memaksanya risen. Alibi faktual yang lebih elegan daripada diberhentikan. Konon, hasil evaluasi semesteran tes wawasan kepegawaian (TWK) dari perusahaan yang wajib dijalaninya, skor akhirnya di bawah ambang layak. Bocor kabar, sudah dua kali dalam dua bulan terakhir Prajoko mengalami kecelakaan lalu lintas ringan. Penyebabnya ngantuk dan kelelahan saat berkendara duabelas kilometer dengan sepeda motor tua, tiap subuh sepulang kerja.

Usia melaju sepesat percanggihan aiti (baca: IT). Nganggur dan terbenam dalam sosial media, bergerombol di grup-grup purnawirawan sepangkat ke bawah (dan dengan demikian isu-isu yang terhidang pun kategori low end, soalnya mau ikutan nggosipin isu high level macam pulitik kontemporer, dia merasa bukan maqom-nya, pun harus taat azas senioritas kan?) Prajoko kian beruban.

Berkutat hari demi hari dengan hape dalam genggaman, dia telat sadar bahwa sesungguhnya dia itu bukan sekadar menua dan tak punya pekerjaan.  Untungnya ada pepatah bilang "lebih baik telat daripada sangat terlambat". Kesadaran muncul dramatis ketika suatu pagi di jelang umur 70 Prajoko mendadak bosan ngegosip di media sosial. Pagi itu, hingga senja melenggang, ia mendapati kenyataan tak tahu apa yang harus dikerjakan.

Periode gundah pun bermula. Bosan menyesaki putaran jarum jam. Badan jadi sering pegal-pegal. Pikiran majal, gairah banal. Sang bini, yang dulu seingatnya jarang ngomel, sekarang jadi super bawel. Ya Tuhan, apa yang mesti kulakukan?

"Pagi Ndan.., gabut nih?" sapa Mas Sis, sebaya pensiunan guru SMA, penghuni salah satu rumah di blok sebelah. Saban pagi tetangga cuma kenal nama itu melintasi depan rumah, pergi pulang jogging. Kaos singletnya selalu lepek berpadu dengan keringat dan training kedodoran.

"Oh, ndak kok... cuma nunggu cuaca agak hangat. Mampir, Mas Sis," dia hanya membalas sapa, basa basi belaka. Gabut? Huh!

Eh, Mas Sisnya, tak biasanya, berhenti mendadak. Maksudnya bukan berhenti bergerak, tapi lari kecilnya tidak lagi moving forward (suer, bukan sok aseng, biar teksnya polyphonik saja), hanya lari di tempat. Malah, belakangan, jogging atret sampai persis di seberang gerbang rumah Prajoko yang menghalang teras dan patio. Di sana, Mas Sis lari di tempat, lagi.

"Wah, beneran nih, Dek Pra? Kebetulan saya lupa bawa bekal aer minumral**)."

Di teras, diletakkan satu set meja kursi mini. Di salah satu kursinya, sohibul bait duduk membaca majalah bekas tapi bukan bekas majalah. Hampir  sebagian besar artikel sudah dihapalnya sebagian besar kata-katanya.

Prajoko meletakkan majalah, bangkit dari duduk, hampir gagal menyembunyikan gejala komplikasi 3K: kaget, keki, dan (pelan saja bacanya, jangan sampai kedengaran:) kampret!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun