Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ada Apa dengan Singapura?

18 Mei 2022   05:59 Diperbarui: 8 Juni 2022   08:49 2085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kon Singapura Patung Merlion di Taman Merlion, Marina Bay. Foto: Kompas.com/Ericsson

Pada tahun 1960, ekonom Belanda, Dr Albert Winsemius memimpin satu tim peneliti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melihat potensi industri (calon) negara Singapura (HistorySG, 2014). 

Di bawah the Commonwealth alias Persemakmuran, pada masa itu, kecuali dalam urusan luar negeri dan bidang pertahanan, Singapura baru saja memperoleh status otonomi dari Kerajaan Inggris untuk membentuk dan melakukan sendiri pemerintahannya dalam segala hal.

Di buku Forging a Singaporean Statehood, 1965-1966: The Contribution of Japan (hal 125), Dr. Robin Ramcharan (2002) mengulang lagi apa yang menjadi kesan bagi Dr Winsemius tentang situasi Singapura saat itu:

Saat itu (di Singapura) sering terjadi huru-hara tanpa sebab. Di berbagai tempat, hampir setiap hari selalu terjadi kekacauan berlatar belakang gerakan komunis. Pada awalnya sulit bagi tim kami untuk memberikan penilaian atas situasi tersebut. Namun setelah beberapa bulan, rasa pesimis semakin tumbuh kuat di antara anggota tim. Kami menyaksikan bagaimana suatu negara bisa hancur tanpa sebab yang jelas. Pendapat umum yang beredar saat itu mengatakan bahwa Singapura sedang menuju kehancurannya. Singapura tidak lebih dari sekedar pasar kecil yang miskin di satu sudut gelap di Asia (Singapore is going down the drain, it is a poor little market in a dark corner of Asia).

Kini, hampir 57 tahun sejak kedatangan tim PBB di bawah Winsemius, Singapura telah berubah dari sekedar pasar kecil miskin di satu sudut gelap di Asia menjadi negara dengan tingkat produk domestic bruto (PDB) per kapita ke-14 tertinggi di dunia (data Bank Dunia), sekaligus negara dengan tingkat daya saing nomor tertinggi di dunia menurut World Economic Forum 2019 (WEForum, 2019).

Bagaimana mungkin suatu negara yang hampir 6 dekade yang lampau hanyalah suatu pulau pelabuhan penangkapan ikan yang kecil, tak punya sumber daya alam, yang mengalami banjir imigran dengan situasi politik yang labil kini menjadi salah suatu negara termakmur di dunia?

Ekonom John Rawls yang terkenal dengan bukunya Justice as Fairness menyatakan bahwa satu-satunya 'takdir' dalam hidup manusia adalah bahwa manusia tak dapat memilih di mana, di keluarga apa dan kapan ia dilahirkan.

Hal yang sama berlaku bagi negara Singapura. Negara ini dan rakyatnya pada awal tahun 60an tidak bisa memilih situasi maupun waktu di mana negara itu mencapai kemerdekaannya: masa yang kacau, faktor ekonomi yang jauh dari mendukung dan sebagainya.

Ada Apa dengan Singapura? (Sumber: Today Online)
Ada Apa dengan Singapura? (Sumber: Today Online)

Apa yang dilakukan Singapura selanjutnya adalah "melawan takdir".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun