Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pajak Karbon tapi Batu Bara Masih Disubsidi: Seriuskah Pemerintah?

11 Oktober 2021   11:47 Diperbarui: 12 Oktober 2021   07:57 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon secara bertahap mulai tahun 2022 dengan sasaran sektor PLTU Batu bara. Sumber: Kompas.com

Penambahan tarif listrik ini akan sangat sedikit apalagi pembangkitan didominasi oleh enerji yang tidak berbasis fosil seperti tenaga air, surya, panas bumi, atau bayu (angin).

Ilustrasi: PLTU Paiton di Probolinggo (Sumber: investor.id)
Ilustrasi: PLTU Paiton di Probolinggo (Sumber: investor.id)

Jaringan listrik Khatulistiwa yang melayani Kota Pontianak-Kubu Raya-Mempawah-Singkawang-Sambas-Bengkayang misalnya, mendapat pasokan listriknya diimpor dari Malaysia(2) yang sebagian besar dibangkitkan dengan tenaga air (PLTA) sehingga emisi karbon dioksida yang dilepaskan setiap Megawatt-jam listriknya hanya 0,308 ton karbondiosida (Gatrik/ESDM, 2016). 

Perhitungan penulis untuk artikel Kompasiana ini menunjukan bahwa penambahan tarif listrik karena pajak karbon untuk jaringan di Kalimantan Barat hanya akan sekitar Rp. 9.3 untuk setiap kWh-nya.

Pada saatnya nanti jika pajak karbon memang diterapkan oleh pemerintah RI, maka tidak hanya tarif listrik saja yang akan naik. Sektor-sektor penghasil emisi karbon dioksida yang besar seperti sektor angkutan jalan raya dan industri juga akan mengalami kenaikan biaya yang sebagian besar akan ditanggung pengguna.

Untuk sektor angkutan, studi Komisi Eropa (2014) memperlihatkan bahwa bahan bakar minyak (BBN) bensin (gasoline) dan diesel masing-masing melepaskan antara 12,2 – 15,3 dan 13,8 – 17,0 gram dan CO2eq per Megajoules (MJ) selama proses produksi dan distribusinya. 

Dengan kandungan CO2eq pada setiap liter bensin dan diesel sebesar 2,3 kg dan 2,7 kg (Exeter.co.uk), maka untuk artikel Kompasiana ini, perhitungan penulis menunjukkan bahwa pajak karbon berpotensi menaikkan harga BBM bensin sebesar Rp.82 sampai Rp 85 per liter dan BBM solar sebesar Rp 96 sampai Rp 100 per liter.

Untuk industri semen, Mahasenan, et al., (2003) menunjukan bahwa sekitar 900 kg karbon dioksida dilepaskan ke udara untuk setiap 1 ton semen yang diproduksi. 

Dengan demikian setiap pembuatan 1 zak semen 50 kilogram berpotensi melepaskan sekitar 45 kg karbon dioksida dan untuk setiap zak semen (isi 50 kg) potensi kenaikan harga semen karena pajak karbon adalah sekitar Rp 2250.

McKinsey (2020) memerkirakan bahwa rata-rata 1,85 ton karbon dioksida dilepaskan untuk memroduksi 1 ton baja. Penerapan pajak karbon akan menaikan harga sebesar sekitar Rp 54 ribu rupiah untuk setiap ton baja yang dihasilkan.

Harga LPG juga akan mengalami peningkatan. Dengan total emisi karbondioksida sekitar 1700 gram per liter (Komisi Eropa (2014) dan Exeter.co.uk) maka penulis dapat menghitung untuk artikel Kompasiana ini bahwa dengan pajak karbon, harga tabung elpiji berpotensi naik sebesar Rp 300 untuk tabung melon 3 kg dan Rp 1215 untuk tabung 12 kg.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun