Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pajak Karbon tapi Batu Bara Masih Disubsidi: Seriuskah Pemerintah?

11 Oktober 2021   11:47 Diperbarui: 12 Oktober 2021   07:57 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: PLTU Paiton di Probolinggo (Sumber: investor.id)

Beberapa hari belakangan ini dunia perubahan iklim international cukup dikejutkan dengan wacana rencana penerapan pajak karbon yang dikemukakan pemerintah Republik Indonesia. 

Mengutip Kontan.co.id (4-10-2021), pemerintah merencanakan untuk menerapkan pajak karbon sebesar Rp. 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara mulai 1 Januari 2022. 

Saat ini Bab VI Pajak Karbon Pasal 13 RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan sedang digodok oleh sidang paripurna DPR RI dan sektor yang akan menjadi sasaran pemajakan karbon yang pertama adalah pembangkitan litrik tenaga uap (PLTU) batubara.

Rencana penerapan pajak karbon dalam waktu dekat ini tak pelak lagi membuat Republik Indonesia di mata dunia keperubahan ikliman menjadi naik daun, terutama menjelang Konferensi Perubahan Iklim COP 26 yang akan diadakan di Glasgow, Skotlandia dari 31 Oktober sampai 12 November 2021 yang akan berlangsung di tengah trend net-zero-emissions(1) yang digagas banyak pihak. Jika menjadi kenyataan, maka Indonesia akan menjadi negara ke-4 di Asia yang menerapkan pajak karbon setelah Jepang, Singapura dan Tiongkok.

Sebenarnya bagaimana dan apa sih dampak penerapan pajak karbon?

Dampak yang pertama-tama dan yang langsung akan kita rasakan dengan penerapan pajak karbon adalah naiknya harga-harga komoditas yang secara intensif menggunakan enerji yang berbasis fosil. 

Semakin tinggi potensi komoditas berbasis enerji fosil tersebut untuk mengeluarkan karbon dioksida atau gas-gas yang dampaknya pada perubahan iklim dapat disetarakan dengan karbon dioksida, akan semakin tinggi kenaikan harga komoditas tersebut.

Untuk sektor pembangkitan tenaga listrik yang akan menjadi sektor pertama penerapan pajak karbon, dampak kenaikan harga akan berbeda-beda tergantung jenis enerji yang dipakai oleh pembangkitan di jaringan yang bersangkutan.  

Jaringan listrik Jawa-Madura dan Bali (Jamali) yang 65% tenaga listriknya (Republika, 28-1-2021) dibangkitkan oleh PLTU berbahan bakar batu bara misalnya secara rata-rata melepaskan sekitar 877 kilogram karbon dioksida untuk setiap 1 Megawatt jam (MWh) listrik yang dibangkitkannya (Data Gatrik/ESDM, 2016).  Penerapan pajak karbon sebesar Rp 30 per kg CO2eq akan menyebabkan kenaikan tarif listrik sekitar Rp 26,3 per kWh tarif listrik di Jawa, Madura dan Bali.

Baca juga: Pak Anies, begini lho kotornya balap formula-E di Jakarta!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun