Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahasa Kolonial 20: Nusantara Krisis Berpikir?

23 Juni 2021   16:35 Diperbarui: 24 Juni 2021   06:18 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan belajar daring matematika dengan soal yang 'ngawur & tidak mencerdaskan' yang dipasang satu BUMN telekomunikasi di pintu MRT Jakarta (dokpri)

Bangsa Nusantara dan bangsa Belanda ternyata bersaing sekaligus bekerja sama dalam kosa-kata yang terkait dengan otak. 

Pertama, bangsa kita menyerap kata 'pintar' dari bahasa Belanda. Pintar aslinya adalah kosa kata Belanda "pienter" (pien*ter) yang artinya mampu berpikir dengan baik atau pandai. Kata pienter sendiri kini jarang dipakai dalam percakapan bahasa Belanda di mana kata slim lebih sering dipakai.

Kedua, tidak kalah dengan bangsa Belanda, bangsa Nusantara juga sempat mengekpor kata kerja berpikir ke dalam bahasa Belanda. Dalam bahasa londho, kata itu diserap sebagai kata kerja "te pikieren" pada sekitar dekade 1880an. Sayangnya kata-kata ini pun sudah tidak dipakai lagi dalam bahasa Belanda masa kini.

Kesimpulannya, bangsa kita tak kalah pienter dibandingkan bangsa Belanda, karena walau mereka pienter tapi kitalah yang mengajarkan mereka ber-pikieren.

Tapi apakah benar bangsa Nusantara masih pienter dan mampu berpikir?

Sejak berbulan-bulan, kepala kita tengleng karena kebanyakan geleng-geleng kepala menyaksikan berbagai fenomena tidak logis terkait sikap kita sendiri menghadapi COVID-19.

Bukan saja yang terakhir terjadi di sekitar Jembatan Suramadu di mana teman-teman kita dari Madura beramai-ramai memrotes pemeriksaan COVID-19 di jembatan yang menghubungkan Pulau Madura dan kota Surabaya itu. 

Bukan pula yang terjadi masa seputaran Idul Fitri bulan Mei yang lalu di mana sebagian dari kita memaksa menerobos pos-pos pemerikasaan di berbagai tempat di jalur-jalur mudik.

Dan tentunya bukan hanya karena kepala kita capai geleng-geleng saat pemerintah kita yang seharusnya meneladani kita yang jelata ini tentang bagaimana bertindak melawan pagebluk  malah melakukan berbagai hal melawan logika. Mengurangi intensitas work from home alias kerja dari rumah yang dicanangkan pemerintah sendiri, melakukan kunjungan-kunjungan kerja di tengah pandemi, menyelenggarakan rakor  pertemuan secara fisik, membolehkan hajatan besar, bahkan menghadirinya, dan lain-lain penafikan bahaya virus corona. 

Satu-satunya siasat pienter kita menghadapi COVID-19 adalah program vaksinasi yang paling tidak, di Jakarta dan Bali sudah cukup maju dibandingkan negara-negara Asia yang lain.

Tanpa program vaksinasi, nampak jelas bahwa kita bangsa Indonesia tak akan mampu keluar dari terjangan pandemi. 

Mau membanding-bandingkan atau tidak, yang jelas harus diakui bahwa banyak negara yang pemerintah dan rakyatnya lebih pienter dan mampu berpikir dan bertindak daripada kita dalam menghadapi pagebluk terlepas dari vaksinasi.

Jika bangsa kita selamat dari pandemi COVID-19 nanti, apakah kita masih akan selamat menghadapi pandemi-pandemi selanjutnya? Atau kita akan dilanda kepanikan lagi dengan segala buka tutup rem dan gas lalu bergantung kembali pada impor vaksin sebagai bel penyelamat?

Mungkin kita sendiri harus mulai serius mempertanyakan mengapa kita tidak cukup pienter seperti bangsa-bangsa lain menghadapi krisis semacam pandemi. Perubahan iklim, semakin berkurangnya persedian enerji berbasis fosil tentu menjanjikan krisis-krisis lain yang tak kalah dahsyatnya dibanding pandemi yang memerlukan ke-pienter-an bersikap dan bertindak.

Adakah kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita gagal menjadi bangsa yang semakin pienter dan cerdas? Akankah pandemi ini lewat begitu saja tanpa kita menjadi lebih cerdas setelah menghadapi segala kesulitan dan tantangannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun