Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Boys Will be Boys? Cerai Gegara Playstation?

4 Juni 2021   08:34 Diperbarui: 7 Juni 2021   04:25 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
J. F. Kennedy Bapak dan Anak (foto: A. S. Tretick)

Miris juga mendengar berita perceraian sepasang pesohor instagram yang ganteng dan cantik. Tanpa ingin berpanjang lebar, salah satu penyebab perceraian, seperti yang diliput media, adalah karena si suami seringkali berlama-lama main playstation (PS) sehingga sang istri dan anak mereka yang masih kecil tidak diperhatikan.

Sebagai laki-laki dan kebetulan juga eks gamer (segala versi FIFA!), suami, dan bapak, saya sungguh menyayangkan hal itu terjadi. 

Saya sering melihat dan mengalami sendiri adanya konflik-konflik kecil di saat seorang suami masih ingin melakukan hobinya, seperti main PS, main futsal, nonton bola, bersepeda, main golf atau sekedar kongkow dengan kawan-kawan prianya, sementara di saat yang sama, sang istri dan anak menginginkan sang suami dan ayah bersama mereka. 

Tak bisa dipungkiri konflik-konflik kecil ini berpotensi pula menjadi konflik besar saat tidak ada titik temu antara keinginan si suami di satu sisi dan istri di sisi lainnya. Yang mengerikan adalah jika konflik besar itu memicu perceraian seperti yang dialami sepasang pesohor di tanah air barusan.

Di satu sisi, ada sebuah adagium berbahasa Inggris yang sangat populer dan sering dikutip: "Boys will be boys", seperti di lagunya Miami Sound Machine (1986) maupun Dua Lipa (2020) yang artinya seorang pria akan tetap bocah atau laki-laki tidak akan pernah dewasa. Benar atau tidaknya adagium itu bisa diragukan. 

Yang jelas, adagium sejenis ini yang sering dipakai sebagai pembenaran kelakuan laki-laki yang machis dan egois, terutama pada keberpihakan pada pembagian tugas keluarga berdasarkan jenis kelamin. 

Paham bahwa suami atau ayah tetaplah kanak-kanak yang harus dilayani, tidak boleh ke dapur, tidak becus mengurus apalagi mendidik anak, berhak melakukan hobinya seperti bermain, berolah raga maupun bergaul dengan teman-temannya merupakan perwujudan dari pemakluman yang bagi sebagian besar manusia di jaman ini, terutama perempuan, dianggap jauh dari adil.

Di sisi lain, manusia adalah mahluk yang bermain atau diistilahkan sebagai homo ludens oleh sejarawan dan budayawan Johan Huizinga. Huizinga (1949) menyatakan pentingnya bermain dalam perkembangan suatu kebudayaan dan budayawan ini memberikan arti yang luas dari permainan atau bermain. 

Bagi Huizinga, segala "permainan berlangsung dalam batas-batas wilayah (dan waktu) yang ditentukan sebelumnya baik itu secara nyata maupun imajinasi belaka yang diatur atas kemauan sendiri maupun oleh pihak lain. Dengan demikian, nyaris tidak ada lagi pembeda antara tindakan bermain maupun tindakan mulia lainnya dalam hidup seseorang, karena tindakan-tindakan mulia juga berlangsung dalam aturan dan bentuk yang sama dengan permainan". 

Dari teori Huizinga, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa tindakan-tindakan mulia, seperti membina suatu keluarga atau rumah tangga pun dapat dipersepsikan sebagai suatu permainan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun