Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nanggala dan Waktu Kita yang Tersia-sia

26 April 2021   15:31 Diperbarui: 26 April 2021   16:26 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: U.S. Navy photo by Mass Communication Specialist 3rd Class Alonzo M. Archer 

Ada dua pertanyaan yang menyesakkan dada tatkala pada Rabu, 21 April 2022 yang lalu kita mendengar bahwa KRI Nanggala 402 hilang dan diduga tenggelam di suatu titik di perairan utara Pulau Bali:

Berapa lama kita bisa menemukan teman-teman di dalam kapal selam itu untuk kemudian diselamatkan? Punyakah kita teknologi untuk melakukan dua hal itu?

Seperti kita semua tahu, sangat terbataslah jumlah zat asam yang tersedia dalam sebuah kapal selam, terutama saat mengalami mesin dan tenaga listrik di kapal tersebut padam atau (black out). Proses pencarian adalah perlombaan melawan waktu. Setiap detik sangat berharga, setiap langkah pencarian harus mengarah semakin dekat pada penemuan.

Sayang bahwa kedua pertanyaan di atas baru akhirnya terjawab 4 (empat) hari kemudian, pada hari Minggu 25 April kemarin (TST, 26 April 2021) saat kendaraan nirawak dari kapal MV Swift Rescue milik Angkatan Laut Singapura berhasil mengambil gambar-gambar puing KRI Nanggala 402 di kedalaman 838 meter di bawah permukaan laut.

Sampai saat ini kita tidak tahu apakah ke 53 pahlawan bangsa ini gugur seketika atau tidak lama setelah mereka hilang kontak pada Rabu 21 April 2021, atau sempat bertahan beberapa hari sebagaimana sering diutarakan dalam berbagai skenario optimis (Kompas 22 April 2021) sebelum akhirnya kapal selam yang mulai melaut pada tahun 1981 ini ditemukan hari Minggu kemarin. 

Yang pasti perlu beberapa hari untuk berbagai kapal, pesawat dan wahana penyelamatan untuk hadir di lokasi yang diduga sebagai lokasi bencana.  

TST (25 April 2021) menyebutkan bahwa kapal MV Swift Rescue berangkat dari Pelabuhan Changi, Singapura pada Rabu 21 April 2021 dan perlu waktu 4 hari untuk mencapai lokasi. 

Kapal MV Swift Rescue ini antara lain dilengkap dengan wahana penolong bawah laut (deep-submergence rescue vehicle atau DSRV) yang disebut Deep Search and Rescue Six atau wahana selam DSAR 6 yang mampu menyelam dan beroperasi sampai kedalaman 500 meter (Naval Technology, 2008), menempel pada badan kapal selam yang tenggelam untuk kemudian mengangkut awak kapal korban ke permukaan.

Wahana penolong bawah laut atau DSRV ini sayangnya belum dimiliki oleh Indonesia. Di Asia hanya Tiongkok, Jepang, India dan Singapura yang memiliki DSRV. Selain DSRV milik Singapura, Defense News (24 April 2021) juga melaporkan adanya kapal milik angkatan laut India yang membawa wahana DSRV yang masih dalam perjalanan menuju Indonesia. 

Wahana selam DSAR 6 (warna putih) dari Kapal MV Swift Rescue milik AL Singapura (sumber: Naval Technology, 2008)
Wahana selam DSAR 6 (warna putih) dari Kapal MV Swift Rescue milik AL Singapura (sumber: Naval Technology, 2008)

Adalah Perjanjian Penyelamatan Bawah Laut Indonesia-Singapore Submarine Rescue Pact (Koh, 2012)  yang ditandatangani pada tanggal 10 Juli 2012 oleh kedua negara, yang melandasi gerak cepat MV Swift Rescue milik Angkatan Laut Singapura untuk segera menuju perairan utara Bali. 

Dengan kecepatan maksimal 11 knots (MarineTraffic.com) kapal MV Swift Rescue tentu hanya mampu tiba di lokasi yang berjarak sekitar 1300 mil laut dalam waktu 4 sampai 5 hari. Bagaimana jika lokasi kecelakaan berada di wilayah Indonesia bagian timur?

Ketergantungan kita pada teknologi yang dimiliki negara lain di masa mendatang nampaknya benar-benar bisa menjadi batu sandungan. 

Tanpa ingin berandai-andai atau melawan takdir, tragedi ini seharusnya membuat kita semua melihat bahwa ketersediaan teknologi yang memadai di situasi yang sama atau yang lain mungkin akan sangat berperan dalam menyelamatkan nyawa.

Tidak perlu pula kita mempersalahkan sini sana yang menyebabkan kita tertinggal di teknologi alutsista, teknik perkapalan maupun kelautan.

Secara umum di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kita memang tertinggal. Tidak usah terlalu jauh mengawang menciptakan Silikon Valley di Sukabumi, pemahaman adik-adik kita dalam pelajaran matematika dan sains hanya peringkat 72 dan 70 dari 78 negara (Kompas, 5 April 2020).

Orientasi kita sebagai bangsa memang belum tertuju untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Kepuasan kita yang nyata mungkin masih begitu jelas, yaitu menjadi raja di dunia maya, kala kita ditakuti karena mampu merisak lawan-lawan debat tidak nyata. Kita bersenang diri kala kita mampu menjadi penikmat kesemuan atau vanity, atau menjadi kaya raya karenanya.

Waktu yang kita buang untuk kesemuan, kejayaan maya yang tak berdaya, kala sambikala datang meghadang.

Semoga teman-teman pejuang di KRI Nanggala 402 beristirahat tenang di rumahNya dan memaafkan kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun