Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi yang Frustasi dan Masyarakat Tak Terinspirasi

1 Februari 2021   18:02 Diperbarui: 1 Februari 2021   18:14 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar kanal Youtube Sekretariat Presiden yang Diunggah 31 Januari 2021

Nada frustasi jelas terbaca saat Presiden kita Joko Widodo mengatakan di video-nya yang diunggah hari Minggu 31 Januari 2021 di kanal Youtube Sekretariat Presiden:

"Yang berkaitan dengan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kebijakan Masyarakat) tanggal 11-25 Januari, kita harus ngomong apa adanya ini tidak efektif. Mobilitas juga masih tinggi karena kita memiliki indeks mobility-nya. Sehingga di beberapa provinsi Covid-nya tetap naik..." "PPKN esensinya adalah pembatasan mobilitas..." "Di implementasi-nya yang kita tidak tegas, tidak konsisten!"

Di video singkat yang berdurasi hanya sekitar 4 menitan itu, secara gamblang Presiden Jokowi menekankan titik lemah implementasi PPKM yaitu ketidaktegasan dan ketidak-konsistenan para penegaknya. Kita bisa dengan mudah menduga bahwa kesimpulan ini diambil karena Presiden Jokowi melihat bahwa masyarakat sebagai obyek dari kebijakan PPKM tetap melakukan mobilitas atau pergerakan yang tinggi dan oleh sebab itu perlu mendapat perlakuan yang lebih tegas dan lebih konsisten dari para penegak PPKM.

Yang harusnya jadi pertanyaan adalah mengapa masyarakat seakan tidak patuh, tidak memiliki kesadaran sehingga perlu ditegasi dan di-konsisteni? Apa salah masyarakat?

Sejak awal pandemi COVID-19 menyerang wilayah NKRI hampir setahun yang lalu, masyarakat memang selalu menjadi obyek pemberlakuan berbagai kebijakan pembatasan mobilitas. Sayangnya dalam berbagai diskursus para pemimpin negara ini, masyarakat juga yang selalu dianggap sebagai rantai lemah dalam keberhasilan pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut.

Dengan kata lain, dalam perspektif Presiden Jokowi dan juga para pemimpin RI lainnya, ketidakpatuhan masyarakat untuk membatasi mobilitas adalah biang keladi kegagalan penanganan pandemi.  Lalu bagaimana dengan kepatuhan pemerintah dan wakil rakyat?

Pemerintah dan anggota DPR sebagai penyelenggara negara dan wakil rakyat memang selayaknya memiliki keistimewaan untuk dapat melakukan perjalanan dinas atau memelihara tingkat mobilitas yang tinggi bahkan dalam masa pandemi agar negara ini dapat berjalan.

Yang patut menjadi pertanyaan besar adalah apakah pemerintah dan para wakil rakyat sudah benar-benar menempatkan penanganan COVID-19 sebagai prioritas utama di antara program-programnya di masa-masa pandemi ini. Paling tidak: apakah ada penyeleksian ketat dalam penyetujuan perjalanan-perjalanan yang dilakukan berbagai instansi pemerintahan atau komisi-komisi DPR? Sejauh mana pemerintah dan wakil rakyat memindahkan segala pertemuan fisik menjadi virtual?

Kalau kita melihat bahwa berbagai kunjungan kerja yang tidak ada kaitannya dengan penanganan COVID-19 dan tidak tinggi urgensi-nya masih dilakukan ke berbagai daerah oleh pelbagai komisi DPR, tentu kita masyarakat jelata boleh berkecil hati. Kalau kita mendengar dan melihat begitu banyak rapat koordinasi maupun lokakarya yang dilakukan secara fisik di berbagai hotel oleh begitu banyak instansi pemerintah terutama menjelang akhir tahun anggaran 2020 tentu kita rakyat awam boleh tersenyum pahit.

Di awal pandemi, begitu banyak tokoh masyarakat yang suka rela ikut menggalang solidaritas dan turut serta me-ngampanye-kan untuk tinggal di rumah saja demi mengurangi mobilitas. Seiring dengan waktu dan lorong pandemi yang tidak juga terlihat ujungnya, masyarakat dan berbagai tokohnya jelas semakin lelah, jelas kehilangan inspirasi.

Peran role model atau contoh dan teladan berperilaku membatasi pergerakan menghadapi COVID-19 tidak bisa lagi ditimpakan terus pada masyarakat ataupun tokoh-tokohnya. Masyarakat yang lelah tak bisa terus menerus disalahkan.  Pemerintah dan wakil rakyat-lah yang saat ini harus muncul menjadi role model karena memang untuk itulah mereka dibayar dan menjadi inspirasi membatasi pergerakan.

Kunci keberhasilan bukanlah formula yang rumit dan tidak ada kaitannya dengan matematika eksponensial yang mungkin dibayangkan presiden Jokowi. Kuncinya saat ini hanya dua: perubahan paradigma dan prioritas.

Pertama, Presiden Jokowi dan jajarannya serta seluruh wakil rakyat perlu untuk segera merubah paradigma dalam strategi bangsa Indonesia melawan pandemi. Kata "kita" harus mengganti kata "masyarakat". 

Masyarakat, wakil rakyat dan pemerintah adalah subyek dan obyek dari setiap kebijakan. Pemerintah harus menyetop kebiasaan menyalahkan masyarakat dan segera mengganti nama kebijakan yang menempatkan masyarakat sebagai obyek seperti PPKM ini. Pemerintah yang solider dan ber-empati dengan masyarakat yang kehilangan inspirasi adalah yang dibutuhkan saat ini.

Kedua, Presiden Jokowi dan jajarannya serta seluruh wakil rakyat perlu me-mrioritas-kan penanganan COVID-19 di atas segalanya. Mengurangi perjalanan dinas yang tak penting maupun memindahkan segala sidang, pertemuan, dengar pendapat secara maksimal menjadi pertemuan virtual adalah konsekuensi yang jelas dari skala prioritas ini. 

Masyarakat harus melihat dan merasakan bahwa mereka tidak sendiri berjibaku menahan diri berdiam di rumah dan tidak sendiri melakukan skala prioritas kegiatan dalam lingkup-lingkup kecilnya. 

Selama masyarakat masih melihat di media massa atau di media sosial bahwa pemerintah dan wakil rakyat masih begitu permisif melakukan kunjungan kerja, kongres atau ataupun pertemuan-pertemuan yang tidak jelas urgensi-nya selama itu pula mobilitas yang tinggi tak bisa dibendung.

Akhirnya, di awal pandemi penulis Marc Lipsitch dan Yonatan Grad (2020) membayangkan pandemi COVID-19 sebagai ombak besar yang mendadak menerjang suatu bahtera yang ditumpangi suatu bangsa. Ombak pandemi meluluhlantakan bahtera dan para semua orang hanya dapat berpegangan sambil mengayuh sebuah potongan kayu untuk mencapai daratan kering, akhir pandemi yang begitu jauh. Potongan kayu adalah berbagai usaha kita melawan pandemi seperti pembatasan mobilitas. 

Semakin banyak yang terlibat mengayuh papan kayu, semakin cepat kita sampai ke pulau kering.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun