Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tindak Pidana di Indonesia Masih Tinggi, Ini Penyebabnya

24 Oktober 2014   15:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:54 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_368854" align="aligncenter" width="612" caption="Ilustrasi perampokan. (Shutterstock)"][/caption]

Hingga saat ini, jumlah tindak pidana yang terjadi di Indonesia masih menjadi tantangan tersendiri. Tindak pidana memang tidak akan pernah musnah selama terdapat kesenjangan sosial dan ekonomi suatu negara. Tingkat tindak pidana sejatinya merupakan sebuah indikator penentu mengenai kualitas keamanan, kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat sehingga besar kecilnya tindak pidana juga mendeskripsikan besar kecilnya tingkat penanganan keamanan serta besar kecilnya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat.

Seperti halnya kemiskinan, sampai sejauh ini, pemerintah Indonesia telah berupaya dan bekerja keras dalam menangani segala bentuk tindak pidana yang terjadi. Tetapi, pemerintah hanya bisa menekan atau meminimalisirnya, tidak sampai mampu memusnahkanya. Selama kesejateraan sosial dan ekonomi terlihat timpang antara yang kaya dan yang tidak kaya, maka selama itu peluang - peluang kejadian tindak pidana akan tetap ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anwar (2009) bahwa khusus dalam bidang sosial ekonomi, kemiskinan memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat perbuatan kriminal (tindak pidana). Demikian juga ketimpangan pendapatan. Semakin timpang pendapatan, maka semakin tinggi peluang seseorang untuk melakukan tindak kriminal (pidana). Masalah pengangguran juga memicu tindak kriminal (pidana). Semakin besar pengangguran, khususnya pengangguran yang tidak sukarela, maka semakin tinggi peluang tindak kriminalitas.

Kondisi terakhir mengenai tindak kriminal yang terekam dalam data tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga mengalami kenaikan.

[caption id="attachment_368787" align="aligncenter" width="482" caption="Jumlah Tindak Pidana, Angka Kemiskinan, dan Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia (diolah), sumber : Statistik Indonesia 2014, Dok.Pri"]

14141129561263538173
14141129561263538173
[/caption]

Pada tahun 2011, tindak pidana (tindak kriminal) yang terjadi di Indonesia sebanyak 347.605 kasus. Kemudian pada tahun 2012, turun sekitar 1,85 persen, tetapi terlihat naik pada tahun 2013 kemarin sebesar 0,27 persen. Sejauh ini, memang kenaikan dan penurunan tindak pidana cenderung kecil, tetapi rata-rata jumlah tindak pidana di Indonesia masih sangat tinggi. Situasi tersebut jika dideteksi dengan kondisi kemiskinan Indonesia masih belum tampak. Data menyebutkan, jumlah penduduk yang tergolong miskin di Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 30 juta penduduk. Dan terus menurun menjadi 29,1 juta penduduk pada tahun 2012 dan kembali turun menjadi 28,07 juta penduduk pada tahun 2013 kemarin. Sejauh ini, fenomena adanya korelasi yang masuk akal mengenai hubungan tindak pidana dan kemiskinan di Indonesia masih belum tampak dan dapat disimpulkan. Sebab, antara data kemiskinan dan data jumlah tindak pidana memang dari segi metodologi dan sumber datanya juga berbeda. Maka, selanjutnya bisa dilihat mengenai kondisi data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia. Pada tahun 2011, tercatat angka TPT mencapai 6,6 persen, dan pada tahun 2012 tampak sejalan dengan penurunan tingkat tindak pidana yang terjadi di Indonesia menjadi 6,1 persen atau turun sebesar 0,5 persen. Dan sinkronitas kondisi ini kembali terdeteksi pada tahun 2013 kemarin, angka TPT Indonesia kembali naik sebesar 0,1 persen menjadi 6,2 persen. Sampai disini, kita perlu mengetahui konsep dan definisi mengenai apa itu pengangguran terbuka dahulu.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengadopsi langsung konsep dan definisi dari kesepakatan internasional International Labour Organization (ILO), pengangguran terbuka adalah merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Artinya, dalam pengangguran terbuka memang terdapat penduduk angkatan kerja yang secara sukarela menganggur dahulu untuk menunggu mendapatkan pekerjaan yang layak atau sesuai dengan bidang keahliannya. Inilah benang merah yang berpautan dengan pernyataan Anwar (2009) mengenai korelasi yang positif antara tindak pidana, kemiskinan, dan pengangguran tersebut.

Secara teori mungkin masih belum dapat dibuktikan, tetapi fenomena tersebut memang realitanya terjadi di beberapa daerah di Indonesia, misal di daerah Gunung Kidul, DIY. Beberapa tahun kemarin, ketika penulis melakukan sebuah penelitian lapangan bersama teman-teman penulis mengenai ketahanan pangan di Gunung Kidul, terdapat beberapa kenyataan yang mengejutkan berkaitan dengan teori hubungan kemiskinan dan tindak pidana. Suatu ketika penulis mendapati bahwa daerah Gunung Kidul pada waktu itu tengah musim panen padi hasil pertanian dan perkebunannya. Penulis sempat bertanya kepada beberapa warga Gunung Kidul, "Pak, Bapak penghasilannya berasal darimana saja, Pak ?", dan rata-rata menjawab, "Saya hanya mengandalkan hasil panen sawah dan kebun saya". Penulis bertanya lagi soal ketahanan pangannya, "Sampai kapan persediaan beras Bapak cukup untuk memenuhi pangan keluarga Bapak ?", dan rata-rata menjawab, "Ya, kami biasanya menyimpan stok beras untuk keluarga kami, Mas. Kalau lauk, biasanya kami hanya mengambil sayuran dari hasil kebun atau ladang di belakang rumah kami." Lalu penulis bertanya lagi, "Lho...Pak, disini kok sepeda motor sembarangan parkirnya, ini sepeda siapa dan kemana orangnya ?". Memang saat itu terdapat beberapa buah sepeda motor di jalan yang secara sembarangan diparkir. Dan rata-rata warga menjawab, "Di sini aman sekali Mas, jarang terjadi pencurian begitu. Entah kemana orangnya mungkin ke sawahnya. Di sini memang begitu, karena aman, warga biasanya ya seenaknya memarkir kendaraannya dimana pun tanpa rasa khawatir bakal dicuri atau apa."

Dari fenomena tersebut, memang dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa ketika kondisi masyarakat itu makmur, minimal kebutuhan perutnya itu terpenuhi alias selalu kenyang dan berkelanjutan terpenuhinya, maka tingkat tindak pidana akan berkurang. Sebab, secara umum situasi sosial dan kondisi ekonomi yang sulit akan menjadi motif - motif bagi seseorang untuk melakukan tindakan kriminal (pidana). Ketimpangan ekonomi yang besar akan mendeskripsikan banyaknya permasalahan kesejahteraan dan ketenagakerjaan yang berdampak langsung pada besar kecilnya peluang - peluang tindak pidanan yang terjadi.

Oleh karena itu, masalah perut adalah yang paling utama untuk diperhatikan oleh seluruh pihak, terutama pemerintah sebagai pengambil dan pengeksekusi kebijakan. Orang yang lapar sangat rentang mencuri karena keteerpaksaan. Begitu pula orang yang pengangguran tak ada masukan untuk bekal ia makan sehingga pelampiasan melakukan tindakan menyimpang bisa saja terjadi. Lebih lanjut, memang diperlukan studi empiris mengenai hubungan antara kemiskinan, pengangguran, dan besarnya tindak pidana yang terjadi di Indonesia agar mampu secara ilmiah menjadi bahan baku masukan kepada pemerintah dalam penanganan soal kesejahteraan dan keamanan masyarakat di berbagai penjuru negara.

***************************************************************************************

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun