Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Lelucon MKD

8 Desember 2015   06:53 Diperbarui: 8 Desember 2015   06:53 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perhelatan sidang Dewan Kehormatan Dewan (MKD) terlihat semakin seru. Pemberitaannya terdengar dan terpampang di seluruh headline media cetak dan virtual. Kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden oleh tersangka Setya Novanto semakin kompleks dan pelik.

Sidang yang awalnya diselenggarakan oleh MKD bagi pengadu Sudirman Said dan Maroef S secara terbuka justru terlihat tidak adil di mata masyarakat. Pasalnya, sidang MKD untuk pihak teradu, yakni Setya Novanto atas tuduhan pelanggaran etik malah dilakukan secara tertutup. Hal ini sontak menjadi sorotan publik dan menimbulkan mosi tak percaya rakyat kepada MKD dan DPR. Sidang yang diadakan inkonsisten dengan keadaan sidang yang sebelumnya membuat rakyat tendensi mencurigai adanya kong kalikong antara SN dengan para hakim yang katanya "yang mulia" itu.

Beragam penolakan tampak diekspresikan oleh berbagai pihtak, mulai dari menjadikan trending topic berhastag #PertanyaanMKD hingga pagi ini #MKDBobrok masih bertengger di laman media twitter Indonesia, hingga dalam bentuk penolakan dengan menaruh puluhan kloset di depan gedung yang katanya "terhormat" itu.

Keberpihakan hakim yang cenderung membela SN sudah terlihat sejak awal persidangan terbuka dengan menghadirkan pihak pengaduh SS. Dan kalau dianalisis, begitu dangkalnya kualitas pertanyaan hakim yang selain dipandang tidak pernah menyinggung substansial yang diadukan, juga terlihat seperti sandiwara yang alay bin lebay.

Contohnya

"Kenapa Anda mau jadi anak buahnya MS?" bernada menyerang terang-terangan dan menjustifikasi seenaknya sendiri.

"Kalau gw Pak,....dst" katanya angka 20 persen itu tidak pernah diucapkan oleh SN yang menjadikan hakim "yang mulia" beropini itu artinya bukan SN yang meminta. Padahal kan, pada pembiacaraan pengusaha minya Riza Chalid itu memposisikan dirinya sebagai SN, artinya SN pastinya sudah bilang angka 20 persen itu sebelumnya kepada Riza. Di sini para hakim sepertinya kurang mampu mengaitkan kemungkinan-kemungkinan kejadian sebelumnya, meskipun tidak terekam.

Kemudian lagi,

"Saudara pengaduh merekam itu sudah dapat izin dari Presiden tidak? katakan saja ya atau tidak....."

"Perekaman dikatakan legal apabila penegak hukum yang melakukannya"; "Jadi rekaman Anda itu merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum."

Para hakim tampak kurang pandai alias erornya kelihatan. Masak iya si perekam harus meminta izin dahulu kepada pak SN?. Sebuah pertanyaan kurang pandai sekali dari para hakim "pau" MKD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun