Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menunggu Dampak Kebijakan Satu Harga Minyak Goreng

3 Februari 2022   11:07 Diperbarui: 3 Februari 2022   11:09 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Saat ini, minyak goreng masih menjadi komoditas panas akibat kenaikan harganya. Saking panasnya, pemerintah sampai rela turun tangan agar harganya tidak sampai menggerus daya beli masyarakat. Sejumlah kebijakan intervensi dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya melalui peraturan menteri perdagangan perihal penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang tak lama ini digulirkan.

Seperti biasa, minyak goreng tercatat sebagai salah satu komoditas krusial masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, andil minyak goreng pada inflasi nasional selama tahun 2021 lalu mencapai 0,31 persen. Angka yang cukup besar, bahkan melebihi andil dari komoditas ikan segar dan rokok filter yang berkontribusi terhadap inflasi nasional masing-masing sebesar 0,13 persen dan 0,08 persen.

Statistik resmi yang dirilis BPS tahun 2021 lalu menunjukkan minyak goreng mengalami kenaikan harga sebanyak delapan kali. Selain akibat melejitnya permintaan momentum hari raya, peningkatan harga minyak goreng juga dipicu oleh naiknya harga sawit mentah (Crude Palm Oil) dunia. Kondisi yang berulang kali terjadi setiap tahun ini patut menjadi perhatian pemerintah. Mengingat, sebagian besar aktivitas rumah tangga dan industri makanan jadi pasti menggunakan minyak goreng dalam prosesnya.

Kalau kita amati data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional atau PIPHSN, harga minyak goreng cukup bervariasi. Harga minyak goreng bermerek pada awal Januari lalu mencapai Rp. 21.000,- untuk setiap liternya. Tidak berselang lama, pada 19 Januari, pemerintah bergerak cepat dengan kebijakan satu harga minyak goreng seharga Rp. 14.000,- per liter. Sayangnya, kebijakan ini terlalu singkat dalam penerapannya. Akibatnya, panic buying tak terbendung terjaddi di sejumlah wilayah, terutama pada ritel-ritel moderen.

Kebijakan yang disambut meriah oleh masyarakat justru memicu efek samping yang boleh jadi menimbulkan masalah baru beberapa waktu ke depan. Pasalnya, kebijakan satu harga minyak hanya diberlakukan pada ritel-ritel moderen saja. Sedangkan kalau kita cermati, harga minyak goreng masih "liar" di pasar tradisional.

Kebijakan satu harga minyak goreng ini memang cukup efektif di tengah upaya melindungi daya beli masyarakat di tengah pandemi. Namun, dengan periode waktu pemberlakuan kebijakan yang singkat, secara otomatis mengakibatkan motif masyarakat berubah dari untuk memenuhi kebutuhan, menjadi: untuk memenuhi keinginan.

Tak sedikit kejadian masyarakat menjual Kembali minyak goreng yang ia peroleh dari ritel moderen kepada tetangganya atau ke pasar tradisional dengan harga normal. Mirip seperti gejolak harga yang menimpa komoditas tabung gas melon dulu. Ketimpangan harga seharusnya tidak perlu terjadi bila pemerintah memberlakukan kebijakan yang sama tanpa tebang pilih pasar.

Angka inflasi nasional terakhir yang dirilis BPS kemarin (2/2/2022) adalah sebesar 0,56 persen. Diketahui bahwa kontributor paling besar inflasi masih berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau, yakni sebesar 0,30 persen. Dari andil sebesar itu, minyak gorenglah yang menadi salah satu pemicunya. Harganya masih tercatat melambung akibat stok di sejumlah ritel yang ludes akibat panic buying. Sedangkan harga di pasar tradisional harganya belum tersentuh kebijakan satu harga itu.

Pemerintah sejauh ini telah menggelontorkan dana 7,6 triliun untuk menutup ketimpangan harga minyak goreng yang terjadi di ritel moderen dan pasar tradisional. Dengan bersumber dari dana tersebut, pemerintah mengklaim mampu menyediakan minyak goreng kemasan sebanyak 1,5 miliar liter selama enam bulan ke depan. Kita perlu menunggu seberapa efektif kebijakan penanganan harga minyak goreng ini. Sebab, bila ketimpangan harga tersebut tidak mampu ditanggulangi, permainan harga dan stok minyak goreng pasti terjadi. Lagi dan lagi, masyarakatlah yang akan menjadi lahan keuntungan para pemburu rente.

Padahal, masyarakat sejauh ini masih belum menikmati kebijakan satu harga minyak goreng. Penerapan kebijakan yang terkesan buru-buru dan dalam waktu singkat justru mengubah motif berbelanja masyarakat dari sekadar memenuhi kebutuhan menjadi demi memenuhi keinginan. Sedangkan kita tahu, bahwa keinginan yang tak terbatas membuat berapapun stok minyak goreng yang tersedia di pasar, ia tak akan mampu membendung permintaan. Ketimpangan antara stok dan permintaan menimbulkan kelangkaan (scarcity) dan gejolak harga.

Beragam upaya telah dilakukan pemerintah untuk menguatkan daya beli masyarakat terhadap minyak goreng. Kita patut mengapresiasinya, meskipun dampaknya belum maksimal. Mungkin kita perlu menunggu dampak maksimal itu, meski dalam ketidakpastian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun