Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - pendiri komunitas Seniman NU
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis opini di lebih dari 100 media berkurasi. Sapa saya di Instagram: @Joko_Yuliyanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membedah Pementasan Mantra 2019

27 Maret 2018   15:16 Diperbarui: 27 Maret 2018   15:26 1280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senin (26/3) di Taman Budaya Yogyakarta. Kelompok teater seniman Jogja mementaskan naskah "MANTRA" yang disutradarai oleh Djoko Santoso. Atmosfer seni di daerah Jogja memang cukup kental, terlihat dari pengunjung yang begitu kental dengan image berantakan. Pertunjukan dimulai jam 19.38 WIB. Dalam konfrensi pers beberapa hari sebelumnya, beberapa tokoh yang terlibat memberikan wacana pertunjukan di rumah maiyah bantul. Emha Ainun Najib (cak Nun) memberikan sentilan tajam kepada negara, pemerintah dan dunia politik di masa depan. Pementasan Mantra akan menjawab semua kebuntuan mengatasi problematika kehidupan bernegara.

Gedung pertunjukan malam itu penuh sesak. Selain pertunjukan yang ditampilkan akan menarik, tidak dipungutinya tiket alias gratis juga semakin menambah sesak TBY hingga banyak di antaranya yang duduk lesehan dan berdiri di belakang kursi penonton. Selain para "seniman", juga terlihat beberapa jamaah maiyah yang turut memenuhi kursi penonton. Ada juga penonton dengan berbagai kelas sosial. Ada anak-anak hingga orang tua. Mantra adalah pertunjukan untuk semua kalangan masyarakat.

Jalannya pertunjukan. Pementasan yang berlangsung selama 2 jam lebih ini dibuka dengan keceriaan anak-anak yang bermain pada jamannya. Menyanyikan tembang dolanan. Saling ejek dan emosi lainnya yang menandakan masa kebahagiaan tanpa permasalahan kehidupan. Meski ada satu dua di antaranya yang sudah mulai terkontaminasi oleh budaya asing menjajah permainan (kearifan lokal) masyarakat dan anak-anak saat itu.

Adegan kedua adalah pertujukan tari yang diperankan oleh seorang wanita dan lelaki. Mereka berahi dengan koreografi yang begitu estetis. Pemusik yang sedari awal nampak di panggung bagian belakang, menambah suasana yang romantis. Kemudian muncul 7-8 penari masuk untuk membawa pergi wanita. Sedangkan yang lain menawan penari laki-laki. Pesan yang saya tangkap adalah sebuah pertarungan dalam diri manusia untuk mengontrol sedulur papat. Pancer harus dapat menguasai kiblat papat. Hingga akhirnya ada pengaruh di luar sedulur papat yang merasuki manusia.

Adegan berikutnya adalah kemunculan tokoh Bagong dan Gareng. Banyolan khas ketoprak ini banyak mengandung kritikan dalam setiap dialog dan pengadeganannya. Mulai dari "maling berdasi" yang tidak bisa dikalahkan dengan mantra, mantra yang didiskreditkan karena dianggap musyrik dan sirik, hingga mantra sebagai sebuah tradisi perenungan diri yang diinjak-injak oleh kaum kapitalisme modern. 

Kemudian ada lanjutan adegan tari yang melambangkan tentang keindahan mantra. Bahwa dalam setiap kehidupan selalu diwarisi oleh mantra. Keindahan gerak menambah warna dalam setiap gerak manusia yang terlihat berubah dari adegan tari di babak pertama. Gerakan yang lebih lincah menandakan sudah adanya pengaruh dari luar yang mengubah jati diri manusia itu sendiri. Mereka saling kelimpungan dan kewalahan menguasai dirinya.

Adegan selanjutnya adalah kemunculan anak-anak dari umur 8 tahun hingga 15 an tahun yang membawa lilin dengan kostum serba putih. Suwung. Perenungan diri. Pengolahan jiwa. Penyatuan mantra untuk menuju ke sang Hyang Wenang. Suara mistis membawa adegan tersebut kepada sebuah kesejatian. 

Kemudian muncul tokoh Gareng dan Bagong yang membubarkan ritual tersebut. Merupakan sebuah cambukan bagi mereka yang merasa jawa namun malah menghakimi tradisi leluhurnya. Mantra menjadi ajang saling hina dengan pakaian dakwah. Bagong dan Gareng sangat piawai membawakan pesan adegan. Banyak hal yang dengan banyolannya menyindiri manusia, lingkungan hingga pemerintah. Masuknya beragam budaya yang mengikis kesejatian jawa.

Adegan terakhir adalah tari sebagai kesimpulan perjalanan manusia. Kemudian dibubarkan oleh "tokoh ending" yang membacakan beberapa makna. Kisah dalam seluruh pengadeganan juga diproyeksikan dalam sebuah pewayangan di panggung bagian belakang. Dalang memainkan setiap alur cerita dari Mantra tersebut. Riuh penonton menyambut pementasan tersebut. Berbagai apresiasi diekspresikan. Setelah pertunjukan selesai, dibuka review public yang digawangi oleh Cak Nun, Djoko Santoso,dkk

Review Public

Tidak tahu kenapa dinamakan review public. Sehingga kesan yang saya tangkap adalah sebuah kajian ilmiah atau seminar. Sedangkan dalam dunia teater, pembahasan soal pertunjukan sering disebut diskusi pertunjukan. Namun pada kenyataannya tetap sama, yakni tentang pertanggungjawaban kelompok teater untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari pertunjukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun