Mohon tunggu...
Joko Supriyono
Joko Supriyono Mohon Tunggu... -

Sekum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, Alumni UGM.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kelapa Sawit dan Ekonomi Indonesia (2): Kelapa Sawit : Sustainability atau Kampanye Dagang?

26 April 2014   00:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Apa hubungan kelapa sawit dengan emisi gas rumah kaca (GHG emissions)? Tentu tidak semua orang awam memahami. Emisi GRK (gas rumah kaca) telah menjadi tema baru kampanye negara Barat beserta segenap armada NGO-nya  menentang pengembangan kelapa sawit Indonesia.

Industri kelapa sawit Indonesia sudah eksis selama 100 tahun. Tetapi kampanye anti-sawit dimulai sejak awal 1980-an, ketika pertama kali ASA (AmericanSoybean Association) menyerukan untuk tidak mengonsumsi minyak sawit. Mereka menuduh minyak sawit mengandung kolesterol yang menyebabkan penyakit jantung.

Sebaliknya, berbagai penelitian justru menunjukkan minyak sawit adalah minyak sehat dan non-kolesterol karena kandungan asam lemak jenuhnya yang sangat rendah. Toh, berbagai penelitian yang telah terbukti secara ilmiah itu tak jua menyurutkan langkah anti-sawit yang digencarkan negara-negara industri barat.

Akhir tahun 1990-an kelapa sawit dituduh sebagai penyebab polusi udara dengan kasus asap yang menghebohkan dunia. Indonesia kemudian mengeluarkan kebijakan ‘pembukaan lahan tanpa bakar’ kepada industri sawit.

Setelah itu, industri sawit dituding sebagai penyebab hilangnya keanekaragaman hayati, khususnya orang utan, karena mengkonversi hutan sebagai habitat satwa yang dilindungi tersebut menjadi kebun sawit. Meskipun konsep HCVF (high conservation value forest- hutan bernilai konservasi tinggi) sudah mulai diterapkan di setiap pembukaan baru kebun kelapa sawit, nampaknya negara Barat beserta BINGO (Big International NGO) tidak puas dan terus menyoroti khusus masalah orang utan ini.

Kini, yang paling baru, industri kelapa sawit dituduh sebagai penyebab utama deforestasi yang menghasilkan emisi gas rumah kaca sehingga mengakibatkan kerusakan iklim dunia. Sungguh luar biasa!

Perubahan iklim yang merupakan masalah semua negara dan menyangkut hajat hidup orang satu planet bumi, dikampanyekan sedemikan rupa sehingga seolah-olah solusinya adalah menghentikan pengembangan baru kebun kelapa sawit.

Apakah benar industri kelapa sawit menjadi penghasil emisi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi/land use change? Laporan yang banyak dipublikasikanmenunjukkan bahwa global GHG emissions paling besar disebabkan oleh sektor industri power yaitu sebesar 24%, kemudian sektor transportasi sebesar 20%, sektor agriculture sebesar 15%. Sedangkan deforestasi menyumbangkan 18% (Strern, 2009).

Menurut penelitian Universitas Amsterdam GHG emissions dari deforestasi diperkirakan sebesar 12 %, bahkan jika emisi dari bahan bakar atas kegiatan deforestasi tersebut dikeluarkan dari perhitungan besarnya kontribusi deforestasi diperkirakan hanya 6 % (Oxley, 2009).

Sedangkan IPCC Report (2007) mengungkapkan bahwa emisi dari deforestasi diperkirakan 17 %. Angka-angka dan data memang sangat bervariasi dan semuanya ‘debatable’ karena belum ada satu riset dan metodologi penghitungan emisi yang disepakati para pihak.

Ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara pengemisi terbesar ketiga di dunia, setelah AS dan China. Faktanya, laporan dari COP Copenhagen, Indonesia hanya menempati urutan ke-19 dari 55 negara (Kompas, 2010), dengan besaran emisi 377 milyar ton (bandingkan dengan urutan ke-1 AS sebesar 6800 milyar ton dan urutan ke-2 China dengan 6370 milyar ton).

Jika besarnya emisi mempertimbangkan jumlah penduduk, maka besarnya emisi Indonesia pada tahun 2005 hanya 1,5 ton/kapita/tahun. Bandingkan dengan angka-angka di negara maju, AS 19,5 ton/kapita/tahun; Inggris 9,2 ton/kapita/tahun; dan Jerman 9,7 ton/kapita/tahun. Berdasarkan satuan emisi/kapita/tahun tersebut Indonesia berada di urutan 115 dari negara-negara di dunia (UN, 2008, dikutip Patriawan, 2010).

Perkebunan Kelapa sawit sendiri, hanyalah bagian kecil dari kegiatan deforestasi di Indonesia. Pengertian deforestasi sendiri juga berbeda-beda di antara para pihak. Secara regulasi, konsesi lahan untuk pengembangan perkebunan adalah ‘bukan kawasan hutan’, artinya secara tata ruang areal tersebut sudah diperuntukkan untuk kegiatan di luar (produksi) kehutanan.

Namun, para NGO melakukan protes ketika areal yang sudah ‘bukan kawasan hutan’ tersebut masih banyak terdapat pohon-pohonan dan ditebang untuk penanaman kelapa sawit.

Data-data mengenai deforestasi yang dipublikasikan secara international adalah data perubahan tutupan hutan yang berkurang dari waktu ke waktu. Padahal perubahan (penurunan) tutupan hutan tersebut adalah disengaja atau legal karena tuntutan pembangunan.

Perbedaan pengertiandeforestasi ini akan menimbulkan kerancuan dan bahkan perbedaan persepsi sehingga seolah-olah perkebunan kelapa sawit merupakan pelaku deforestasi. Sebagai gambaran, penanaman kelapa sawit baru setiap tahunadalah 400.000 - 500.000 ha. Sedangkan laju deforestasi dilaporkan 1,08 juta ha setahun.

Sejak kegiatan pengembangan perkebunan kelapa sawit dimulai 30 tahun terakhir, faktanya hingga saat ini luas areal perkebunan kelapa sawit nasional hanya 7,5 juta ha (kurang lebih hanya 5% dari total areal hutan Indonesia).

Dari angka-angka tersebut, maka sangatlah nyata bahwa pengungkapan dan publikasi data-data (riset?) GHG emissions sarat kepentingan dan diarahkan untuk menyudutkan Indonesia, dengan target spesifik industri kelapa sawit Nasional sebagai penyebab deforestasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun