Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Lepas di China Report ASEAN

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Reuni

15 Maret 2021   18:29 Diperbarui: 15 Maret 2021   18:48 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Reuni (dokpri)

Setelah bertahun tahun lamanya akhirnya kuterima juga undangan reuni. Waktu yang tepat untuk bersua dengan kawan lama. Baru seminggu lalu kuinjak kaki kembali ke pelukan tanah air, nusa indah nan jauh di timur. Kuanggap tanah airku bak pangkuan ibu yang terasa hangat. Ia adalah nirwana yang sesungguhnya.

Keluargaku selalu mengucap syukur ke pertiwi, disimbolkan dalam bentuk dewi. Itulah mengapa mereka tak pernah meninggalkan nusa khatulistiwa ini, melainkan hanya aku sendiri yang merantau, itulah kata yang tepat bagi seseorang yang meninggalkan kampungnya untuk mencari penghidupan. Namun aku tak pernah menganggapnya sebagai merantau. Saat itu ku ingin menempuh pendidikan yang tak bisa kudapatkan di sini.

Ya, banyak sekolah ketrampilan khusus hanya dibuka di kota besar, bahkan di luar negeri. Di Kabupaten kecil yang dikelilingi pegunungan ini hanya menyediakan sekolah umum saja, lainnya adalah madrasah. Hanya keluar dari kabupatenku inilah jalan satu satunya untuk mengejar ketertinggalan, di tempat yang jauh di sana ku bisa belajar kemampuan yang kusuka. Juga mencari tahu jati diri, di tengah orang-orang yang tak mengenal dan tak peduli, begitupun aku yang tak peduli mereka.

Waktu 8 tahun berlalu seperti angin yang membawa hujan. Kurasakan lagi sejuknya embun, dari rerumputan, padi, dan palawija. Sinar matahari pagi hangat terasa di kulit wajah, ditambah pak tani yang berlalu memikul paculnya, tersenyum padaku. Perasaan ini sudah lama tak kurasakan semenjak kepergianku. Pagi ini kubersiap untuk mendatangi reuni teman SMA. Mereka mengadakan acara temu kangen itu di suatu restoran bebek goreng di belakang alun-alun kabupaten.

Hampir semua orang di kabupaten ini telah mencicipi gurih dan renyahnya bebek goreng restoran itu. Kebanggaan masyarakat kabupaten, kata sang bupati yang telah 2 periode menjabat, menggantikan ayahnya, dan sedang menyiapkan anaknya maju ke pilkada tahun depan. Bahkan sang jenderal yang menjadi presiden itu pernah mampir. Fotonya besar terpigura kuningan, dipajang sejajar dengan foto trah besar di ruang makan restoran. Sang pemilik tersenyum sama lebarnya dengan sang jenderal, membuat para pembeli semakin lahap menyantap kulit bebek bareng lalapannya.

Beberapa artis pun dirumorkan selalu mampir, namun yang tak kalah sering lagi adalah polisi-polisi dari kantor polsek samping alun-alun. Begitu selesai senam langsung mampir untuk menyantap bebek yang baru tiris dari wajannya. Hati ampela menjadi kegemaran, kata salah seorang polisi di surat kabar daerah. Itulah tempat yang akan kutuju siang ini. Restoran bebek alun-alun kabupaten.

Kusiapkan diriku sepatut patutnya. Kemeja putih dan jeans kusetrika halus. Kusisir dan kurapikan rambutku yang panjang dengan ikhlas, karena sebenarnya sehari-hari memang kubiarkan apa adanya. Parfum yang baru kubeli kemarin sore kusemprotkan dari segala arah. Aku tentu masih ingat bahwa mereka akan suka dengan bau-bau parfum.

Tak lupa kupanaskan motor milik ayahku satu-satunya. Seingatku dulu ia mengangsurnya selama 4 tahun, dengan setengah gaji bulanannya. Motor ini masih layak pakai walaupun modelnya dianggap ketinggalan. Pun juga tak pernah dimodif sama sekali, terasa orisinal dan klasik.

Setelah berpamitan aku berangkat melewati persawahan luas yang terbentang di antara pedesaan dan kota kabupaten. Jalan ini tak jauh beda dengan 8 tahun yang lalu. Kabarnya setiap 2 tahun selalu diperbaiki, tapi selalu mengalami kerusakan beberapa bulan setelahnya. 

Mereka bilang banjir selokan pada musim penghujan adalah biang keroknya. Namun pernah satu guru honor SMK membantahnya, malah dipolisikan oleh pak lurah. Beberapa petak sawah kini juga terlihat telah jadi rumah petak. Kini beberapa petani tak lagi susah payah menanam padi. Hasil jual petak sawahnya sisa untuk makan keluarganya selama bertahun-tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun