Selanjutnya, keterpesonaan itulah yang menuntun perjalanan panggilannya sampai saat ini. Memang tidak mudah. Banyak kisah pahit nan pilu yang menghardiknya. Namun caranya menghadapi tantangan membuat decak kagum umat ketika mendengar kotbah yang disampaikan saat misa perdana maupun misa keluraga. Saat kelas XII di Seminari Garum sang ayah yang sangat ia cintai mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Merasa kehilangan itu sudah pasti, namun Adit yang saat itu sedang duduk di bangku SMA Seminari menengah tetap tekun berdoa agar ia dan sang ibu ikhlas menerima kenyataan dan tawakal menjalani panggilan hidup. Pengalaman lainnya adalah ketika ia menderita sakit demam berdarah dan harus menjalani perawatan di rumah sakit serta tragedi kala ia mengalami kecelakaan sepeda motor.
Di balik semua kepiluan tadi, ternyata Tuhan masih mencintai dirinya dengan memberikan sukacita untuk mengimbangi kesedihan yang dialami. Selain ia senang karena telah sembuh dari sakit, Romo Adit juga turut bersukacita karena sang ayah telah lepas dari penderitaannya dan bahagia di surga. Walau tidak menyaksikan secara fisik, ia yakin bahwa ayah menyaksikan karya imamatnya kelak dari surga.
Kendati dihantam dengan berbagai cobaan Romo Adit tetap menjatuhkan pilihan untuk menjadi imam diosesan. Menurut Romo ini sangat Sederhana yakni "Saya ingin membaktikan diri bagi keuskupan karena di Keuskupan Surabaya inilah saya dibesarkan dan berproses. Selain itu, dengan berbagai pengalaman yang saya dapat ketika dibina di Seminari Garum, Tahun Rohani, dan Seminari Tinggi Providentia Dei, serta ketika mendengar banyak kisah umat yang begitu merindukan sosok seorang imam dan kehadirannya bagi Gereja, saya semakin tergerak hati untuk menjadi seorang imam".
Pada perayaan misa perdana yang dilaksanakan pada hari Minggu (26/6/2022) yang lalu saya mendapatkan kehormatan didaulat menjadi ketua panitia misa perdana. Sementara kemarin, hari Kamis (30/6/2022) ada misa keluarga yang dipersembahkan oleh Imam yang juga merupakan umat Santo Stanislaus. Peristiwa menarik dari misa keluarga malam ini adalah  kisah tentang moderasi beragama yakni semua keluarga besar ibu dan ayahnya menganut agama Islam sedangkan yang beragama Katolik hanya sang ibu dan dirinya. Keluarga besar Romo terlarut dalam kebahagiaan dan kebanggaan hal ini terungkap dalam setiap sambutan melalui senyuman dan eratnya genggaman tangan kala menyambut tamu undangan yang hadir. Hal ini juga terlihat dengan jelas ketika beberapa anggota keluarga sedang berpose bareng Romo Adit.
Ketika terlibat dalam pelayanan sebagai ketua panitia misa perdana, saya terkesan dengan ungkapan yang disampaikan Romo Adit saat membawa kata sambutan " Melihat segala dinamika yang ada, saya berpikir untuk lebih peduli dengan memprioritaskan penggembalaan di "rumah sendiri" dan menjadikan Kristus nomor satu di hati umat beriman serta hati saya sendiri, "karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan" (Filipi 1:21). Dengan menjadi imam, saya dapat hidup untuk Kristus dan mati pun tak apa karena saya sudah mempersembahkan diri saya kepada-Nya sebagai ganti nyawa saya".
Selamat menjalani tugas Imamat sebagai pendidik di SMA Seminari Garum, Blitar . Disana masih tersimpan dengan rapi berbagai kenangan tentang kisah masa lalu ketika Romo masih berseragam putih abu-abu.
Mojokerto, 30 Juni 2022