Mohon tunggu...
John Berek
John Berek Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis adalah pekerjaan untuk keabadian (Pramoedya Ananta Toer); Menulis memang bukan bakat tapi suatu ketrampilan yang membutuhkan banyak belajar dan latihan

Apa yang terucap bisa lenyap, tetapi apa yang ditulis akan abadi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Bersama Loper Koran

1 November 2021   14:40 Diperbarui: 1 November 2021   15:28 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para pekerja informal berstatus bekerja sendiri dan pekerja bebas, serta bekerja tidak terikat dengan lamanya waktu kerja, tempat kerja, besarnya upah kerja, serta tidak mempunyai atasan, serta tidak dikenai pajak.

Banyak pekerja informal yang dapat kita temui di sekitar kita, sebut saja, tukang parkir, pendorong gerobak barang, pemikul barang di pasar, tukang sol sepatu, penjaga dan pembersih. toilet, penjual/loper koran, dan masih banyak lagi. Untuk menjadi pekerja informal tidak dibatasi oleh umur dan jenis kelamin. (baik anak-anak maupun orang dewasa, laki-laki maupun wanita). 

Kemiskinan masih menjadi alasan anak-anak memilih menjadi pekerja informal untuk membantu orang tua. Sedangkan alasan orang dewasa memilih untuk menjadi pekerja informal karena terbatasnya lapangan kerja di sektor formal, serta tingkat pendidikan dan ketrampilan yang terbatas.

Bercerita tentang pekerja informal, maka saya mempunyai suatu pengalaman yang menarik dengan seorang loper koran yang setiap hari menjual koran lokal di depan pintu masuk sekolah anak saya yang saat itu masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. 

Setiap pagi saya selalu bertemu dengannya dan selalu membeli koran secara eceran, sehingga loper koran tersebut sudah kenal dengan saya dan setiap pagi bila saya dan anak saya sudah muncul dengan motor di halaman depan sekolah, maka ia akan berlari menyerahkan koran kepada saya.

Dengan harga koran eceran 3.000 perak kadang kala saya memberinya lebih bila ada kelebihan sedikit uang yang tersedia di dompet.

Pada suatu kesempatan saya duduk sambil bercerita dengannya di parkiran sekolah, saya mencoba untuk mengetahui latar belakang mengapa ia menjadi loper koran.

"Bapak, saya dari desa datang kuliah di Kupang, di fakultas dan universitas ini", sambil mengeluarkan kartu mahasiswa dari dompetnya dan menunjukkan kepada saya, agar saya yakin. "saya kost kamar dengan biaya sekian per bulan, orang tua saya petani di desa, sehingga kiriman dari desa kadang terlambat untuk bayar biaya kost atau biaya kuliah semesteran, maka saya mencoba menjadi loper koran untuk meringankan beban orang tua".

Suatu hari saya terlambat menjemput anak saya yang pulang sekolah karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan saat itu. Untung ada loper koran langganan saya yang menemaninya sampai saya tiba di sekolah untuk menjemput anak saya, kalau tidak saya tidak tahu bagaimana dengan keadaan anak saya.

Kadang kita memandang sebelah mata terhadap para pekerja informal, namun ada saatnya kita membutuhkan bantuan mereka, karena kita adalah makhluk sosial dan hidup dalam satu komunitas walaupun saling berbeda agama, suku, ras, dan budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun