Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meniru Politik Tuhan

25 April 2017   05:48 Diperbarui: 25 April 2017   17:00 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berkuasa merupakan fitrah tendensius yang melekat pada karakter manasia. Pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepada daerah (pilkada), pembentukan lembaga, partai politik, organisasi kemasyarakatan dan lain-lainnya merupakan potret nyata tendensi tersebut. Pertikaian demi pertikaian, penguasaan satu komunitas mayoritas terhadap minoritas atau penguasaan satu negara terhadap negara lain, juga merupakan simbul nyata kecenderungan tersebut. Inilah yang dirisaukan oleh malaikat saat Tuhan menciptakan Adam (QS [2] al-Baqarah: 20), bahwa manusia akan bertikai dan pertumpahan darah akan terjadi. Pun begitu, Allah lebih mengerti.

            Jika melirik dinamika politik pasca pilkada di berbagai tempat, kemudian memunculkan asumsi bahwa bongkar pasang para pejabat pemerintahan dalam lingkungan pemerintah merupakan potret perebutan kekuasaan antar kelompok yang terbentuk dalam kekuatan berbeda, baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Situasi politik akan merambah ke dunia birokrasi, meski pun sebenarnya birokrasi tidak dapat dipolitisasi. Birokrasi harus dijalankan menurut konsepnya, bukan berdasarkan syahwat politik. Inilah kondisi negeri seribu pulau yang sedang candu demokrasi walaupun cenderung kleptokrasi,

            Dalam kampanye, sering berdengung semboyan perjuangan demi rakyat. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang diperjuangkan ketika mereka ingin menduduki tahta kekuasaan. Apakah seperti yang tersiar dalam slogan politik, iklan, dan spanduk, bahwa mereka para elit politik berjuang untuk rakyat, ataukah sebenarnya yang diperjuangkan hanyalah warga dalam lingkup partai atau kelompok sendiri saja. Sementara kelompok yang tidak mendukung cenderung disingkirkan dan diposisikan sebagai musuh.

            Jika demikian, mudah sekali menjawab pertanyaan di atas bahwa yang diperjuangkan oleh sebagian para calon penguasa kita sebenarnya adalah individu dan kelompoknya saja. Memperjuangkan rakyat hanyalah gincu yang melekat sesaat dan mudah luntur ketika bersentuhan dengan air. Bahasa demi rakyat ibarat air di daun keladi, berlalu tanpa bekas dan pergi.

Politik Tuhan

            Barangkali terlalu normatif, ketika dikatakan bahwa Yang Paling Berkuasa dan Yang Maha Kuasa adalah Tuhan. Tuhan juga memiliki sistem dan mekanisme politik dalam mengatur ciptaan-Nya di alam semesta ini. Dalam berkuasa, Tuhan telah mengatur berdasarkan mekanisme-Nya sendiri, berlaku universal dan semua berorientasi kepada kebutuhan makhluk ciptaan-Nya, sehingga kekuasaan tersebut tidak pernah menjadi malapetaka.

Tuhan adalah Penguasa, namun Dia juga Pengasih dan Penyayang. Kekuasaan Tuhan tetap mengutamakan neraca perimbangan, adil dan bijaksana dalam memperlakukan hambanya. Dia sendiri menegaskan bahwa Dialah Allah sebagai Wasit yang Maha Bijaksana (QS. At-Tin: 8). Keadilan ini tentu saja tidak semata dimaknai dalam menindak manusia yang melanggar di hari kemudian, melainkan Tuhan telah menjadi sistem jagad raya ini dengan asas keseimbangan sehingga semua berjalan dengan baik. Kekuasaan Tuhan yang maha luas tidak pernah menginginkan ciptaan-ciptaan-Nya menjadi korban dari kekuasaan tersebut. Lebih dari itu Dia menjadi Sang Pelindung dan Penolong bagi seluruh ciptaan-Nya termasuk manusia.

Namun dalam bingkai dan game politik, manusia dalam merebut kekuasaan mereka cenderung menjadi ancaman bagi orang yang tidak mendukung, berbeda pandangan, atau berposisi menjadi lawan politik. Tak dinyana, setelah seseorang berkuasa, maka diapun menjadi sosok yang ditakuti oleh mereka yang tidak seiring sejalan.

            Kita dapat melihat, ketika salah seorang calon beroleh kemenangan, maka kelompok yang terkalahkan sering menjadi ‘tumbal’ penguasa yang menang dengan cara memasung dan menyandera hak-hak mereka, mengerdilkan kebebasan pendapat, dan mengawasi aktivitas mereka. Dengan kata lain, mereka tidak memperoleh perlakuan yang sama dengan kelompok pendukung calon yang menang.

            Maka sekiranya kita meniru kepada kebijakan kekuasaan Tuhan, Dia tidak pernah membedakan porsi rejeki bagi orang yang rela atau ingkar menyembah-Nya. Bahkan tidak pernah membatasi hak perolehan materi kepada siapa pun. Sekiranya Tuhan hanya memilih orang yang bertakwa mendapatkan rejeki dari-Nya, barangkali amat sedikit yang memperolehnya.

Urusan rejeki materi terutama, bahkan Allah menjamin semua makhluk ciptaan-Nya tanpa pandang bulu. Kalaulah rejeki materi dikaitkan dengan keberimanan seseorang, tentulah orang dan kelompok yang keluar gari garis keimanan, rejekinya akan diberhentikan oleh Allah. Fir’aun yang mengaku tuhan dan menyombongkan diri contohnya, tetap diberikan rejeki oleh Allah. Mungkin itu terlalu jauh, orang-orang sekitar kita yang tidak mau melaksanakan perintah agama seperti shalat, juga tetap diberikan rejeki oleh Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun