Home Ground
Saat menjadi pemain banyak hal yang bermunculan di benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang butuh jawaban, yang dicari dan ditemukannya.
Semisal, dalam pertandingan kenapa yang bertahan hanya pemain belakang yang akan jadi sasaran kemarahan, kekecewaan dan makian ketika terjadi gol oleh tim lawan. Begitu juga dengan system pertahanan yang tak hanya man oriented tapi dalam sepak bola modern sudah zone oriented.
Begitu juga pertanyaan klasik yang ada di kepala rakyat Indonesia "Kenapa sepak bola di luar negeri lebih maju sedangkan Indonesia begini-begini saja."
Tak usah bicara negara Eropa, beberapa negara Asia Tenggara belum juga mampu disalip oleh Indonesia. Terkini, di SEA Games 2021 Indonesia harus melupakan mimpinya meraih medali emas setelah di semi final kalah tipis 0-1 dari Thailand. Raihan emas terakhir didapat pada SEA Games 1991.
Proses untuk menjadi maju itu melalui proses yang cukup panjang, dari pembinaan usia muda hingga menuju top level. Tim-tim besar memiliki lapangan sendiri (home ground) sebagai landasan menuju ke industri sepak bola.
"Adanya lapangan yang baik bisa mendatangkan pemasukan untuk mendatangkan pelatih yang baik. Dari situ, adanya pelatih dengan gaji yang cukup akan menghasilkan pemain yang baik pula," tutur Kahudi.
Tentu tidak sesederhana itu, lanjutnya. Saat ini yang dihadapi sepak bola tanah air tak hanya belum seragamnya kurikulum, kalaupun sudah ada seperti Filanesia (Filosofi sepak bola Indonesia) penerapannya yang belum berjalan.
Dari Filanesia itu membangun serangan (build up) dari belakang ke tengah, bar uke jantung pertahanan musuh. Namun itu sulit dipraktekkan jika lapangannya jelek. Jadinya build up itu dari belakang ke depan langsung.
Padahal pemain muda perlu mendapat beragam build up agar mereka tidak kaget ketika bertanding dengan taktik yang tak hanya satu jenis saja.
"Infrastruktur harus dibenahi, ada kurikulum, pelatih dan pemain yang berkualitas adalah hal pokok jika kita berbicara tentang industrialisasi sepak bola," tegasnya.