Kita bisa membayangkan, saat klub hanya membayar gaji para pemain dan pelatihnya sebesar 25% dari April hingga Agustus mereka sudah kelimpungan. Ada klub yang sampai dua bulan menunggak pembayaran, tak hanya ke pemain dan pelatih tapi juga karyawan perusahaannya. Para karyawan itupun gajinya turut terpangkas sebesar 50%, ada yang kurang dari kurang dari itu.
Saat kompetisi dimulai, seperti kemauan PSSI, bagi tim dari luar pulau Jawa ataupun dari Jawa tapi tak bisa berkandang di kotanya, mereka harus menanggung biaya lebih dari biasanya. Aturan eksternal misalnya, sesuai protokol dari FIFA, di dalam bus, para pemain juga diharapkan menjaga jarak satu sama lainnya.
Jadi, kemungkinan tim-tim Liga 1 akan memakai dua bus saat harus berangkat ke stadion karena aturan ini. Sesuai regulasi Liga 1, bus ini disediakan oleh tim tuan rumah untuk menjemput dan mengantar tim lawan.
Belum lagi berbicara soal sewa lapangan latihan, extra pudding, bonus jika menang dan lainnya.
Maka tak heran jika klub-klub saat ini menjalan jurus dewa mabuk agar tetap bertahan hingga pandemi ini berakhir. Tak adanya degradasi di Liga 1 hanya vitamin yang tak seberapa dibandingkan dengan pusingnya memikirkan biaya operasional tim.
Tinggal dinanti seberapa kuat dan lama ketahanan nafas klub-klub ini mengarungi situasi yang berat saat ini hingga berakhirnya kompetisi pada akhir Februari 2021. ***