Pukul 12 siang. Matahari bersinar terik, udara terasa panas. Tetapi, langkah-langkah kaki tetap bergegas, ada yang berjalan menuju warung makan atau restoran untuk beristirahat dan makan siang. Jumat siang menyongsong akhir pekan yang cerah.
Pohon kamboja yang berdiri kokoh, mencoba meneduhkan bumi..Sayangnya, rindangnya pohon kamboja tak mampu meneduhkan bumi yang luas. Teduhnya cukup untul menaungi tanah di sekitarnya. Beberapa kelopak bunga kamboja atau sedap malam berjatuhan di tanah. Tetapi, tak ada tangan-tangan yang memungutnya.Â
"Bunga kamboja yang berjatuhan dipungut setiap pagi." Aku memgatakannya sambil tersenyum.
"Benar, mbak. Bunga kamboja itu diambil untuk dibuat minyak wamgi."
"Bagaimana cara membuat minyak wangi dari bunga kamboja, mbak?" Aku bertanya lagi kepadanya. Perempuan berkerudung itu menjawab,"Bunga kamboja tersebut dijemur dulu, mbak."
Aku menganggukan kepala, memahami apa yang dijelaskan. Tiba-tiba, aku teringat kepada perempuan tua yang suka mengambil bunga kamboja. Tak terasa, sudah dua minggu aku tak bertemu dengannya. Meskipun, usianya telah senja namun semangat hidup masih terpancar dimatanya.Â
Matahari masih tetap bersinar, menerobos dedaunan bumga kamboja. Angin yang bertiup menerbangkan kelopak-kelopak sedap malam yang berjatuhan. Tetapi, sedap malam akan tetap mewangi, disaat tangan-tangan yang memungutnya, mengolahnya menjadi minyak wangi.
Jakarta, 24 Agustus 2018