Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sulitnya Mencari Guru Berprestasi

30 Mei 2013   07:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:49 1797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1369884563747658014

[caption id="attachment_264447" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] "Jika ingin muridnya pintar, guru harus lebih pintar. Jika ingin gurunya pintar, kepala sekolah harus lebih pintar. Jika ingin kepala sekolah pintar, kepala dinas harus lebih lebih pintar. Sesungguhnya air itu akan mengalir ke bawah dan memengaruhi kualitasnya" itulah sepenggal ucapan Bupati Sragen, Pak Agus Fatchurrahman, beberapa waktu lalu. Kalimat-kalimat itu begitu kuat melekat sehingga saya sangat terinspirasi untuk menuliskannya di sini. Dalam minggu-minggu ini, daerah disibukkan dengan pemilihan guru berprestasi. Nantinya, setiap kabupaten/ kota akan mengirimkan satu guru terbaiknya guna bersaing di tingkat provinsi yang nantinya akan dijadikan duta provinsi tersebut ke tingkat nasional. Ada tiga jenis ujian atau tes yang harus diikuti peserta, yaitu tes tertulis (35 poin), tes wawancara dan presentasi (35 poin), serta penilaian portofolio (30 poin). Pada peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, guru-guru berprestasi dari setiap provinsi akan diundang untuk mengikuti upacara di Istana Negara Jakarta. Namun, saya sempat kaget dengan kondisi penyeleksian guru berprestasi tahun ini. Berdasarkan obrolan dengan beberapa rekan dari beberapa daerah pula, saya menemukan kondisi yang sama: tak lagi guru bergairah mengikuti seleksi itu karena ketiadaan apresiasi sepadan dari pemerintah. Benarkah? Berdasarkan pengalaman mengikuti seleksi pada 2010 lalu dan diskusi dengan beberapa teman, akhirnya saya dapat merangkum beberapa persoalan keengganan guru mengikuti Seleksi Guru Berprestasi. Besarnya Pengorbanan Untuk mengikuti seleksi itu, setiap peserta harus mengirimkan 3 jenis dokumen rangkap 3, yaitu portofolio karya ilmiah, portofolio hasil bimbingan, dan portofolio dokumen pribadi. Bisa dibayangkan, betapa tebalnya dokumen yang disertakan manakala 50 buku harus difotokopi rangkap 3. Berapa rupiah mesti dikeluarkan dan siapa yang harus menanggung? Inilah bukti pengorbanan yang harus dibayar dengan duit cash. Belum lagi pengorbanan nonmateri, seperti lari kesana-kemari guna mengumpulkan semua berkas dan melegalisirnya. Lalu setiap malam nglembur mem-verifikasi dokumen-dokumen itu. Lalu, apa yang akan didapat oleh guru berprestasi itu? Apa yang akan diberikan pimpinan kepadanya? Di sinilah keengganan guru itu muncul. Buat apa susah-susah mengikuti seleksi guru berprestasi sedangkan semua biaya ditanggung guru yang bersangkutan? Sama Saja Usai mengikuti seleksi guru berprestasi, guru tersebut mendapatkan perlakuan sama sama alias biasa-biasa saja. Bukannya guru berprestasi diperlakukan istimewa, melainkan sekadar diberi penghargaan di tingkat sekolah, daerah, provinsi, dan nasional. Memang tidak dibedakan dalam banyak hal untuk guru yang menjadi guru berprestasi dengan guru yang tidak terpilih menjadi berprestasi: besaran gajinya sama, tunjangan profesinya sama, dan jam mengajarnya sama. Bahkan, ada kecenderungan sering diejek atau menjadi bahan olok-olokan rekan sejawat manakala bersikap malas, "Guru berprestasi kok malas?" Minimnya Penghargaan Mestinya guru berprestasi yang dikirimkan kabupaten/ kota ke tingkat provinsi adalah guru jempolan alias memiliki prestasi jauh lebih baik dibandingkan guru-guru lainnya. Guru-guru yang berhasil lolos ke tingkat nasional pun, pastilah guru-guru yang teramat bagus integritas, loyalitas, dan karya-karyanya. Lalu, mengapa guru-guru itu tidak pernah diberikan amanah atau jabatan agar dapat mempengaruhi bawahannya? Jabatan pengawas, kepala sekolah, kepala dinas, bahkan menteri pendidikan tak pernah mencantumkan persyaratan tentang guru berpestasi. Begitu guru berprestasi itu pulang alias kembali ke sekolahnya, ia pun menjadi guru yang biasa-biasa saja. Andaikan diberi penghargaan, paling berbentuk materi, seperti piagam, uang, atau laptop. Atas kondisi di atas, mestinya pemerintah khawatir karena guru-guru yang berpotensi tak bergairah mengikuti seleksi Guru Berprestasi yang disebabkan ketiadaan apresiasi. Jika guru-guru nan sarat prestasi itu tidak dimanfaatkan oleh negara, teramat sulit kualitas pendidikan ini ditingkatkan. Bukankah sekeping medali emas lebih berharga daripada 1000 perunggu? Guru-guru yang berprestasi itu harus diberi kesempatan untuk berkarier sehingga turut mewarnai dunia pendidikan. Seperti yang telah kita ketahui, justru banyak pejabat pendidikan tidak berasal dari guru karier. Banyak kepala dinas berasal dari disiplin ilmu nonpendidikan. Dan lebih banyak lagi pejabat-pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) justru berlatar belakang perguruan tinggi. Apa jadinya pikiran brilian sang professor tetapi belum pernah menjadi guru? Maka wajar-wajar saja banyak kebijakan-kebijakan Kemendikbud mentah alias irrasional dan tak implementatif di ranah bawah, bahkan kadang kontraproduktif. Ke depan, mestinya pemerintah memberikan kesempatan kepada guru-guru berprestasi itu untuk mewarnai kualitas pendidikan tanah air. Untuk tingkat nasional, Juara 1, 2, dan 3 Guru Berprestasi Nasional diberi kesempatan berkarier di Pusat Kurikulum dan Perbukuan Penelitian dan Pengembangan (Puskurlitbang) Kemendiknas Jakarta. Juara 1, 2, dan 3 Guru Berprestasi Provinsi diberi kesempatan menjadi Widyaiswara LPMP Provinsi atau berkarier di Dinas Pendidikan Provinsi. Guru-guru berprestasi tingkat kabupaten/ kota diberikan amanah atau jabatan sebagai pengawas, kepala sekolah, atau berkarier di dinas pendidikan. Jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi, Kabupaten, dan Kota sudah dipenuhi guru-guru berprestasi, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa kualitas pendidikan kita akan melonjak drastis. Mudah-mudahan itu tak menjadi sekadar mimpi...!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun