Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Pepih Nugraha: Hindari Keakuan

8 Juli 2013   12:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:51 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_273392" align="aligncenter" width="640" caption="Obrolan singkat dengan Kang Pepih tadi pagi benar-benar teramat berkesan."][/caption]

“Ujung karya wartawan adalah penulis buku dan ujung karya penulis buku adalah novel” ujar Pepih Nugraha, wartawan senior Kompas. Ungkapan itu keluar sebagai pemaknaan bahwa terdapat perbedaan antara penulis dan pengarang. Begitulah simpulan yang dapat diambil ketika pagi tadi (Senin, 8 Juli 2013), saya berkesempatan untuk berkunjung ke Kantor Harian Umum Kompas di Palmerah Barat, Jakarta.

Selama ini, kebanyakan orang masih beranggapan bahwa penulis dan pengarang itu sama. Jika mau menelaah lebih jauh, antara penulis dan pengarang memiliki tingkat kedalaman yang berbeda. Disebut penulis karena ia memang menuliskan sesuatu yang terbaca. Namun, acapkali tulisan itu bersumber dari tulisan-tulisan orang lain. Maka, penulis harus menghargai tulisan orang lain itu yang dijadikan referensi itu pada beberapa kesempatan dan celah, seperti pencantuman dalam catatan kaki, kutipan langsung, dan daftar pustaka. Dan itu dapat ditemukan pada karya-karya ilmiah yang dipublikasikan secara ilmiah, seperti makalah, penelitian, jurnal, dan buku.

Namun, pengarang memiliki taraf tingkatan kajian yang lebih dalam. Pengarang itu akan melahirkan produk asli sebagai buah dari pikiran, ide, dan kreativitasnya. Karya itu benar-benar bersih dari keterpengaruhan pihak lain. Melalui kemampuan mengeksplorasi ide, pengarang merangkai ide-ide yang bersileweran di pikirannya. Akhirnya, pengarang itu mampu menyajikan cerita yang apik, bermakna, dan orisinal. Dan itu ditemukan dalam karya-karya sastra, seperti puisi, cerpen, atau novel. Karena murni berasal dari buah pikirannya, pengarang tidak perlu mencantumkan sumbernya karena memang semuanya berasal dari karyanya.

Untuk menjadi penulis dan pengarang seperti di atas, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh, konsisten, dan matang. Sikap-sikap itu akan melahirkan celah kreativitas memanfaatkan segala cara dan media. Maka, penulis dan pengarang itu akan melirik media sosial yang bertebaran saat ini untuk menancapkan personil branding baginya. Di sinilah semua akan terbaca, kemana alur pikiran akan mengalir sehingga ia akan dikenal genre tulisannya: menuju personil branding sebagai penulis atau pengarang?

Media sosial adalah sebuah sarana mudah dan murah untuk menancapkan personil branding tersebut. Kita mengenal Facebook, Twitter, Kompasiana, blog pribadi, dan lain-lain. Calon penulis dan pengarang mestinya memanfaatkan media itu dengan sebaik-baiknya. Kelak pembaca akan memberikan predikat atau gelar berdasarkan kemampuannya menuangkan gagasan. Sayangnya, ada sebuah kebiasaan alias karakter buruk yang dimiliki sebagian pengguna media sosial, yakni keakuan. Ya, jiwa keakuan.

Pepih Nugraha menjelaskan bahwa banyak orang memiliki sifat “keakuan” sehingga merasa dirinya lebih hebat daripada lainnya. Lalu, orang tersebut memelihara karakter kebal kritik alias resisten. Tanpa disadari, jiwa cepat berpuas diri justru menenggelamkan dirinya. Dan ia pun mulai kehilangan pamor, penggemar, serta (calon) predikatnya sebagai penulis atau pengarang. “Penulis atau pengarang harus menjauhi jiwa keakuan jika ingin tetap digemari banyak orang. Janganlah ia banyak berharap orang lain akan menghargainya jika ia sendiri tak mengargai dirinya.”

Obrolan dua jam di Cafe Javaro, Kompleks Gedung Kompas Gramedia pagi dan siang ini mungkin menjadi perkuliahan paling berkesan yang pernah kualami. Selama dua jam lebih, saya mendapat banyak ilmu dari sang wartawan, pengarang, dan penulis buku. Diselingi obrolan seputar media sosial, kompasiana, dan sekadar bertukar pengalaman tentang dunia kepenulisan, saya mendapatkan banyak pencerahan darinya. Kiranya kita perlu memanfaatkan ilmu di atas jika kita ingin dikenal banyak orang. Terima kasih untuk ilmu-ilmunya, Kang Pepih. Semoga semakin banyak orang terinspirasi oleh pikiran-pikiran Anda. Amin....

[caption id="attachment_273409" align="aligncenter" width="640" caption="Sebentar lagi, buku terbaru Kang Pepih ini akan menjumpai kita."]

137326616199565431
137326616199565431
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun