Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mengapa Kompasianer Merasa Rendah Diri?

17 Mei 2012   17:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:10 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Rendah hati adalah salah satu sifat terpuji yang mesti dimiliki semua orang. Rendah hati sering diartikan sebagai sifat untuk menggambarkan perilaku orang sebagaimana tidak mestinya. Sebenarnya orang tersebut mampu menunjukkan identitasnya lebih dari sekadar yang ditampakkan. Sebenarnya ia mampu melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan, tetapi ia justru memilih memertahankan kondisi karena ia tidak menginginkan situasi berubah drastis. Satu hal yang menjadi keinginan: agar tidak terdapat jarak antara dirinya dengan orang lain. Lalu, apa perbedaannya dengan sifat rendah diri?

Sifat rendah diri adalah salah satu sifat negatif. Rendah diri berarti ketidakpercayaan terhadap dirinya. Ia menganggap bahwa dirinya bodoh, miskin, kampungan dan beragam anggapan negatif lainnya. Lalu, ia pun menepikan diri alias mengucilkan dirinya dengan enggan bergaul bersama dengan komunitas. Jika itu dilakukannya, sesungguhnya ia telah mengalami kerugian yang teramat besar. Terlebih, itu dilakukan oleh seorang kompasianer.

Belajar tidak mengenal waktu, tempat, dan cara. Kita dapat belajar kapan pun, di manapun, dan kepada siapapun. Belajar dapat dilakukan pagi, siang, malam, sore, petang, hingga malam dan pagi hari selanjutnya. Belajar dapat dilakukan di sekolah, di sawah, di kantor, di jalanan, bahkan di WC sekalipun. Dan belajar dapat dilakukan kepada profesor, guru, anak kecil, orang gila, si sakit, atau kompasianer.

Beberapa hari ini, saya terusik dengan selentingan informasi bahwa banyak kompasianer “melarikan diri” dari kompasiana. Itu diketahui dari ketidakmunculannya pada kurun waktu yang cukup lama. Maka, saya jarang menemukan tulisan barunya meskipun sudah cukup lama berkawan dengannya. Atas kondisi itulah, setidaknya saya mencatat tiga alasan digunakan kompasianer sehingga ia melarikan diri. Pertama, anggapan sebagai penulis ecek-ecek. Ya, ungkapan untuk menggambarkan keterbatasan kemampuan menulis dibandingkan penulis lainnya.

Seharusnya alasan itu tidak digunakan oleh kompasianer. Di kompasiana, kita tidak berkelas-kelas dan tidak mengenal kelas-kelasan. Di sini, kita tidak mengenal kastanisasi penulis. Semua dapat belajar kepada penulis lainnya. Jika menganggap tulisan seseorang yang sering nangkring sebagai HL, itu semata merupakan hak admin. Saya meyakini bahwa tulisan itu memang berkualitas. Jadi, kita dapat belajar kepada tulisan itu dan tidak perlu memandang penulisnya.

Kedua, ejekan. Di media sosial seperti kompasiana, kita pasti akan bertemu dengan beragam temperamen orang. Temperamen orang itu tampak dari kemampuannya memberikan respon alias komentar. Karena kedewasaan seseorang berbeda-beda, penulis pun memiliki kemampuan defensif penyerangan berbeda-beda pula. Pada situasi seperti itulah, penulis alias kompasianer (baru) tidak mampu bertahan karena tidak tahan diejek kompasianer lainnya.

Sejak 19 April 2010 hingga hari ini, saya sudah pernah mengalami beragam situasi dan perlakuan. Saya pernah dipuji setinggi langit.  Saya pun sering diejek kompasianer lainnya. Bahkan, saya pernah dijadikan bulan-bulanan seraya tulisan-tulisan provokatif yang cenderung menjelek-jelekkan diri. Namun, saya tidak pernah memedulikan ejekan itu. Bagiku, ejekan adalah energi positif untuk memerbaiki diri. Tidak perlu malu mengakui kekurangan diri. Jika memang salah, bersegeralah kita meminta maaf. Namun, kita mesti berusaha memaafkan kesalahan orang lain meskipun ia tidak berkenan meminta maaf.

Ketiga, honor. Jika menelisik makna honor, kita mungkin melakukan kesalahan. Kata “honor” berarti penghargaan. Lalu, apakah penghargaan selalu bernilai dengan uang? Menurutku, itu adalah kesalahan anggapan yang cukup fatal. Dan kita harus segera memerbaiki kesalahan anggapan tersebut.

Di sini, kompasiana, kita dapat belajar kepada profesor, jendral, pejabat tinggi, dosen/ guru, pengusaha, murid SMA dan lain-lain. Kompasianer tentulah memiliki status keprofesian. Oleh karena itu, sungguh kita mendapatkan kerugian besar jika masih beranggapan bahwa honor adalah uang. Honor kita adalah ilmu yang diberikan para kompasianer itu. Mereka telah merelakan ilmunya seraya menjadikan kita sebagai pembacanya. Cobalah kita menghitung biayanya jika kita harus membayar untuk semua tulisan itu. Mereka telah mengikhlaskan semua pikirannya untuk dibaca, dikaji, dan dipraktikkan karena mereka beranggapan bahwa honor adalah ucapan alias sapaan lembut yang menentramkan hati. Apatah guna roti enak tetapi diberikan dengan umpatan.

Senang saya menjadi kompasianer. Selain dapat belajar, saya dapat menjalin komunikasi dengan banyak kawan dengan beragam latar agama, profesi, adat, prinsip, pendidikan dan lain-lain. Makna hidup paling bijak adalah kebermanfaatan karena sebaik-baik manusia adalah manusia yang dapat memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada manusia lainnya. Jadi, apakah kita masih berpikir sempit sehingga bersikap pasif di sini? Mari kita menebar kebaikan dengan tulisan!

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun