Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencegah Kenakalan Anak

10 Juni 2016   13:42 Diperbarui: 10 Juni 2016   13:52 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koran Joglosemar hari ini

Oleh Johan Wahyudi

Guru SMP Negeri 2 Kalijambe

jwah1972@gmail.com

Informasi terkait dengan aksi enam siswa SMP di sebuah mushola sekolah sangat ramai di media sosial. Tampak dalam foto, enam siswa menampilkan adegan sholat wajib dan sholat jenazah. Lalu, keenam siswa itu memeragakan semacam tarian atau gerakan bersama-sama. Tak hanya berhenti di situ, salah satu dari keenam siswa itu diangkat beramai-ramai. Atas aksinya itu, nitizen mengecamnya karena dilakukan di sebuah mushola tanpa melepas sepatunya. Mereka dianggap melecehkan sholat dan tempat ibadah.

Jika mau berpikir jernih, tentu kita tidak akan memberikan toleransi atas perilaku anak-anak yang sudah kelewatan. Sekolah perlu bertindak tegas dengan menegakkan aturan-aturan yang berlaku agar peristiwa itu tidak lagi terulang. Dari upaya itulah, sekolah dapat meminimalisasi kenakalan.

Setiap sekolah tentu memiliki tata tertib atau peraturan sekolah yang dibuat sekolah untuk mendisiplinkan siswa-siswinya. Tata tertib itu memuat tugas dan kewajiban siswa. Bagi pelanggar tata tertib, jenis sanksi pun sudah ditentukan. Pemberian sanksi atau hukuman itu biasanya terdiri atas lima tahap, yaitu teguran lisan, teguran tertulis, tindakan fisik tanpa melukai, panggilan orang tua, dan pengembalian anak kepada orang tuanya.

Sanksi dijatuhkan guru kepada pelanggar saat dijumpainya pelanggaran. Jadi, guru bisa langsung menegur dan melakukan hukuman fisik tanpa melukai kepada pelanggar. Jika siswa tersebut melakukan pelanggaran berkali-kali, guru melaporkan anak tersebut kepada guru Bimbingan Konseling (BK).

Atas rekomendasi guru BK-lah, nasib siswa ditentukan. Apakah orang tuanya cukup dikirimi surat teguran agar anaknya dididik di rumah? Apakah orang tuanya perlu dipanggil ke sekolah untuk mendapatkan informasi terkait dengan pelanggaran yang dilakukan anaknya? Ataukah guru BK merekomendasikan sekolah agar siswa yang melanggar tata tertib itu dikembalikan kepada orang tuanya untuk dididik di rumah?

Dilema Guru

Belum hilang dari ingatan atas peristiwa yang menimpa Ibu Nurmayani, guru SMP Bantaeng Sulawesi Selatan. Ketika guru Biologi itu akan menertibkan dua siswanya yang bermain air dan berlarian saat berwudlu, justru bu guru itu dilaporkan ke polisi karena didakwa melanggar UU Perlindungan Anak. Peristiwa inilah yang menjadi akar masalah yang terus berkelanjutan.

Saat ini, guru dihantui kecemasan jika akan menghukum siswa-siswinya yang nakal. Guru sangat ketakutan jika dilaporkan polisi karena melakukan tindakan disiplin kepada siswanya dengan melakukan tindakan fisik. Akibatnya, guru cenderung membiarkan kenakalan itu. Maka, kenakalan anak pun kian menjadi-jadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun