Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pakat dan Toge Panyabungan Membuat Lupa Mudik Lebaran

12 Mei 2021   14:58 Diperbarui: 12 Mei 2021   18:11 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Tanggal 30 Januari 1998 adalah Hari Raya Idul Fitri 1418 H. Aku merayakannya di perantauan bersama keluarga kecilku di Padangsidempuan, 1932 km jauhnya dari kampung halaman di Kuningan, Jawa Barat. Sejak awal ramadan aku memutuskan untuk tidak mudik ke kampung halaman sebagai tradisi yang tak pernah terputus setiap lebaran sebelumnya. Ini lebaran pertama di perantauan sejak aku tahu kalau setiap tanggal 1 syawal menjadi hari istimewa yang identik dengan baju baru dan makanan enak.

Tak ada larangan mudik, tak ada juga pandemi penyakit menular bahkan penyakit ringan seperti batuk filek atau gatal-gatal pun sedang tidak melanda keluargaku. Tetapi, krisis moneter yang mendera dunia sejak April 1997 membuat kemampuan finansial keluargaku menyusut sangat dalam seperti sumur yang tiba-tiba kering hingga ke dasarnya. Gajiku sebulan, bahkan tak cukup untuk membeli selembar tiket pesawat Medan-Jakarta.

Aku berpikir mungkin saat inilah lebaran paling memilukan yang harus kurayakan dalam keterpurukan nun jauh dari sanak keluarga. Rupanya dugaanku keliru. Kota kecil di tengah hutan yang harus ditempuh 9 jam perjalanan dari Medan juga hampir sama jauhnya dari Padang, kedua kota besar terdekat tiba-tiba menggeliat bahkan pada sehari menjelang bulan puasa. Pajak batu, satu-satunya pasar yang berada di pusat kita sekonyong-konyong tumpah ruah melebar menutup sepanjang Jalan Merdeka dari mulai Patung Salak di pertigaan Padangmatinggi sampai ke Sadabuan berderet-deret pedagang karbitan menjajakan kebutuhan pangan untuk makan sahur di malam pertama bulan puasa. Karkas daging lembu, kerbau, beri-beri dan kambing bergelantungan di kios dadakan yang dibangun dari tiang bambu beratap terpal plastik. Belum lagi dari kelompok unggas seperti ayam negeri, ayam jago, bebek, mentok dan angsa. Ikan laut yang didatangkan dari Sibolga, ikan mas dari Danau Toba dan ikan asap limbat yang jadi primadona minta ampun jumlahnya, menggunung. Tak terhitung lagi lapak sayur seperti daun singkong, daun pepaya, sawi dan bayam mereka seperti berlomba. Rempah-rempah berbagai warna hari itu sungguh melimpah.

Berjualan mulai sehabis subuh, menjelang siang saat bayang-bayang orang setinggi orangnya kira-kiram jam 10 pagi semuanya ludes. Aku kagum pagi itu tak terdengar orang mengeluh tak punya uang padahal hari-hari sebelumnya selama hampir setahun sejak April 1997, semua tabungan kesedot entah kemana. Pagi itu berbeda dari hari-hari sebelumnya, sebelum ayam berkokok seolah-olah uang datang dari langit berhamburan di atap seng seluruh rumah-rumah mereka.

Sore, pada hari pertama puasa kami ke kota untuk mencari tahu apakah "ngabuburit" -tradisi menunggu beduk magrib di Jawa Barat, juga dilakukan di Padangsidempuan. Kebetulan jam kerja kantor pada bulan puasa bisa pulang 1 jam lebih dini dari jam kantor normal, sehingga selepas asar sudah bisa jalan-jalan. Tak ada tujuan "ngabuburit" selain pajak batu, sebab itulah tempat satu-satunya yang paling banyak dikunjungi orang.

Sesampainya di pajak batu keramaian seperti hari kemarin ternyata sore itu terjadi kembali. Pasar tumpah kembali ke jalan raya. Bedanya yang dijual sore ini hampir semua masakan siap makan baik untuk tajil maupun makanan lain. Seperti di mana pun di bumi nusantara ada panganan favorit ada yang tidak. Cirinya sangat jelas yang favorit lapaknya banyak dikerubungi orang. Tampak dari kejauhan asap membumbung ke atas dari lapak-lapak dadakan yang berderet-deret di pinggir jalan. Tidak jelas apa yang dibakar karena semua lapak ramai dikerubungi orang. Aku pikir mungkin tukang sate, ayam bakar, ikan bakar atau kambing guling. Tetapi tak tercium bau daging atau ikan yang terbakar. Lalu apa? Karena penasaran aku pun mendekat. Setelah lebih dekat kulihat batang-batang kayu sebesar jari orang dewasa dengan panjang satu meter berjejer dibakar di tungku. Akupun bertanya kepada seorang laki-laki yang sepertinya sedang menunggu pesanannya dibuat.

"Pakat, Bang!" serunya.
"Pakat, masakan apa tu Bang?" aku bertanya lagi.
"Bukan masakan! Ini batang rotan muda, setelah dipanggang kulitnya dikelupas lalu bagian dalamnya yang berwarna putih macam umbut kelapa diiris-iris pendek. Dimakan dengan sambal pedas untuk parbuka. Mantap Bang, meningkatkan selera makan." Abang itu menjelaskan panjang lebar.

Aku masih tidak mengerti, tetapi daripada menyesal penasaran aku membelinya beberapa batang.

Selain lapak dengan asap membumbung ada lagi lapak dengan orang bejibun. Setelah kudekati, rupanya jualan tajil.

"Ini cendol ya Bang?" aku bertanya sama abang-abang yang menenteng kantung plastik kresek hitam yang baru keluar dari kerumunan itu, sepertinya ia terburu-buru tangan kirinya melambai ke arah tukang becak motor. Tetapi karena tahu aku bertanya, ia berhenti sejenak.

"Bukan Bang! Ini toge Panyabungan, cocok kali pun buat tajil parbuka. Abang orang kita jawa? Silakan, mencoba, mantap kali Bang!" Abang itu menjelaskan sambil balik bertanya. Aku mengangguk, ia pun segera melompat ke atas becak motor yang dari tadi menunggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun