Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

New Normal, Kapan Sebaiknya Mulai Bisa Diterapkan?

12 Juni 2020   20:34 Diperbarui: 13 Juni 2020   07:13 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jumat ini adalah kali kedua aku shalat jumat berjamaah di masjid di lingkungan tempat tinggalku setelah tak kurang 3 bulan aku menjauh dari tempat ibadah itu baik untuk jumatan maupun shalat wajib. Keberanianku terinspirasi dari kawanku di Bekasi yang kutelpon 2 minggu yang lalu. Ia mengatakan kalau sudah memulai shalat jumat berjamaah di lingkungan tempat tempat tinggalnya.

"Ya, dengan sedikit rasa cemas." katanya.

Sehabis telpon aku coba cari tahu ke tetangga. Informasi yang didapat, di tempatku bahkan jumatan itu sudah dimulai sejak seminggu yang lalu. Terlambat, pikirku. Artinya jumat ini sudah jumatan ke-4 sejak himbauan tak melaksanakan shalat jumatan di lingkunganku. Tak ada berita lonjakan covid-19 positif yang kudengar, sejak 21 hari terakhir. Padahal masa inkubasi virus tersebut normalnya 14 hari. Apakah ini sudah normal?

Belumlah, lha wong secara nasional jumlah terinfeksi terus meningkat. Angka infeksi nasional per 9 Juni 2020 sebanyak 1.043 orang, tanggal 10 Juni bahkan meningkat sebanyak 1.241 orang. Padahal sebelumnya angka terinfeksi positif tidak pernah mencapai ribuan. Secara kurva infeksi covid-19 secara nasional belum melandai sebagai syarat menuju kenormalan baru.

Lalu bagaimana dengan rencana persiapan new normal yang dilakukan pemerintah? Bagi orang awam disambut dengan sukacita, belum lagi tahu apa pengertian new normal dan kapan mulai diberlakukan mereka sudah merasa bebas dan kembali pada kebiasaan lama. Sementara bagi para ahli -sebagian tentu, dan yang merasa sok ahli rencana new normal dianggap sebagai sesuatu yang gegabah. Berpatokan pada kurva penyebaran virus yang masih naik, belum waktunya melakukan new normal.  Saat ini sebaiknya masyarakat tetap mengurung diri di gua, paling tidak sampai 31 Desember 2020. Terlalu terburu-buru dan memberi kesan membiarkan rakyat melawan covid-19 dengan kekebalan alami (herd immunity) atau hidup berdampingan dengan virus.

Serba salah memang. Bila terus-menerus mengurung diri -yang betul tidak sepenuhnya mengurung, perekonomian akan runtuh. Belum lagi dikhawatirkan munculnya penyakit psikologis karena boring dan rasa bosan. Tetapi bila dibebaskan yang bisa mengakibatkan infeksi tidak terkendali, tentu sangat berbahaya. Tidak salah kalau orang berpendapat bahwa saat ini lebih baik menyelamatkan nyawa dulu, baru kemudian memperbaiki perekonomian. Tetapi siapa yang bisa menyalahkan kalau ada orang berpendapat lain. Perekonomian masyarakat harus tetap tumbuh dan berjalan dalam situasi pandemi ini karena kemiskinan yang mengancam akibat ambruknya perekonomian dampaknya bisa jauh lebih buruk daripada pandemi covid-19, bahkan.

Menanti kurva penularan melandai sebagaimana idealnya untuk menuju new normal, entah kapan. Menilik kultur masyarakat kita yang susah teratur sepertinya menunggu kurva melandai layaknya menunggu godot. Langkah new normal terbatas mungkin bisa sebagai alternatif. Kelompok masyarakat yang siap melaksanakan new normal boleh didahulukan untuk melaksanakan new normal secara terbatas. Yang dimaksud sanggup itu adalah kelompok masyarakat yang mampu melaksanakan aktivitas dengan berpedoman pada protokol kesehatan new normal seperti menggunakan masker di tempat umum, menjaga jarak, mencuci tangan sesering mungkin, aktif berolah raga dan mengkonsumsi makanan bergizi.

Belajarlah dari jamaah shalat jumat yang dalam beberapa jumat ini mulai kembali dilaksanakan. Jamaah shalat jumat adalah mereka yang taat beragama. Ini pasti, karena sebelum pandemi covid-19 pun hanya orang-orang yang taat yang berangkat shalat jumat. Karena ketaatan beragama ini jamaah shalat jumat menggunakan masker, shap disusun dengan jarak aman, tidak berbicara antar jamaah apalagi tertawa ngakak, dan berangkat ke mesjid dengan berjalan kaki -untuk sementara jamaah hanya warga setempat.

Keteraturan dan ketaatan jamaah shalat jumat pada protokol kesehatan dalam new normal ini seharusnya menular dalam aktivitas lain seperti aktivitas bekerja di kantor, pabrik, jual beli di pasar/mal, pembelajaran di sekolah/pesantren dan aktivitas lain. Tidak harus menunggu kurva penularan covid-19 melandai yang entah kapan bisa dicapai.

New normal bukan berarti hidup bebas kembali ke kebiasaan lama, tetapi kita menciptakan kultur baru dalam menjalani kehidupan dengan tatanan baru yang peduli dengan memelihara kesehatan diri dan orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun