Keputusan untuk membawa istri dan bayi kecilku ke Solo sudah final. Tetapi hati kecilku merasa ragu. Ragu karena kondisi keuanganku saat ini. Bagaimana kami bisa menyabung hidup di sana dengan gaji kecil yang separuh dari jumlah itu akan dipotong setiap bulan untuk angsuran KPR?
Ketika aku diliputi perasaan pesimis yang paradoks antara tiga keberkahan yang datang beruntun berupa rumah baru, bayi cantik dan berhasil lolos dalam seleksi CS yang kontroversial  dengan bayangan suram kesulitan hidup di Solo kelak, orang-terdekatku justru kebalikannya. Mereka menyambutnya dengan terharu, bangga dan penuh harap.
Yayan Hadiana yang tempo hari merasa tertolong sekali karena peristiwa num lock yang terkunci, ia bilang kepadaku untuk jangan melupakannya. Abidin -kasir baru, ia berharap dengan sangat, kelak bisa dibantu dimutasikan ke Kuningan. Emak dan Bapak -ayah dan ibuku bangga dengan promosiku dan berharap aku menjadi orang besar.
Pagi masih gelap saat mobil minibus Mitsubisi L300 yang dicarter berangkat ke Solo itu tiba diparkir di halaman rumahku. Istriku sedang mengemasi perlengkapan dapur yang mungkin bisa dibawa. Aku sedang mengikat koper dengan tali rapia. Bayi kecilku terlelap, belum bangun.
"Sayang sekali rumah sebesar itu, ditinggalkan ya," kata Pak Abduh, -tetangga, kawan meronda. Ia datang mengantar di depan rumahku, saat aku sedang mengangkuti koper ke dalam bagasi mobil.
Di dalam mobil ayah duduk di depan di samping Pak Supir. Adik istriku dua orang duduk di jok paling belakang berdesakan dengan tas besar berisi popok, gurita, sepatu bayi dan tas kecil berisi susu dan perlengkapan makan dan minum bayi. Di kursi tengah aku dan istriku dan emak yang mengapit bayi yang digendong istriku.Â
Sejak masuk ke dalam mobil bayi kecilku tampak gembira. Tangan dan kakinya tak henti-hantinya bergerak menghentak-hentak ke atas ke bawah. Ini adalah perjalanan terjauh yang dialaminya. Di sepanjang perjalanan sejak berangkat, mulut mungilnya tak berhenti mengoceh macam burung kutilang, hanya berhenti saat menetek.
"Ta-ta-ta, tata. Ta-ta-ta, ta!" katanya, menggemaskan.
Kecapaian mengoceh ia tertidur pulas.
Di Kebumen di Rumah Makan Tasik, Mitsubishi L300 berhenti untuk beristirahat, makan siang dan menumpang shalat. Istriku menggunakan kesempatan untuk pertama-tama mengganti popok bayi, mengelap tubuhnya yang berkeringat, menaburi bedak talek dan mengolesi tangan, kaki, punggung dan perutnya dengan minyak telon.Â
Istriku menidurkan bayi kecilku di atas kasur kecil yang dibawa dari Cirebon kemudian meletakannya di atas meja makan yang tidak digunakan. Diperlakukan dengan begitu, ia tidak tidur. Tangan dan kakinya menghentak-hentak, mulutnya mengoceh.