Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kartu Nama, Apa yang Diberikan Kepada Orang Lain Akan Kembali

28 Januari 2020   06:31 Diperbarui: 26 Februari 2020   07:12 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku bangga dengan ayah, meskipun hanya guru SD yang tinggal di kampung salah satu kawan sekolahnya dulu bekerja di Jakarta. Ketika kawan ayah pulang kampung saat liburan lebaran kemarin ia memberi ayah selembar kartu nama. Biar ayah mudah mencarinya ketika ingin menemuinya di kantornya kapan saja, katanya.

Sebulan setelah aku mengantungi ijazah sarjana ayah membawaku ke Jakarta menemui kawan ayah itu untuk mencari lowongan pekerjaan. Berbekal kartu nama tidak sulit menemui kawan ayah di lantai 4 gedung perkantoran di Jalan S. Parman, Slipi itu. Ia bekerja di perusahaan perdagangan saprodi pertanian sebagai staf personalia. 

Dengan menunjukkan kartu nama itu aku bersama ayahku diantar langsung oleh petugas resepsionis ke depan meja di ruangan tempat kawan ayah itu sedang sibuk bekerja. Mudah sekali. Aku belum beruntung karena lowongan kerja belum tersedia, tetapi aku tidak menyesal karena di Jakarta yang sibuk kami tidak tersesat.

Aku pun ingin sekali memiliki kartu nama. Sudah lewat 6 bulan aku bekerja sebagai trainee pemegang buku di bank. Elok sekali kalau di dompet terselip kartu namaku yang cantik. Orang-orang penting akan dengan mudah mengenalku lebih mudah bisa menemuiku.

Persoalan pun muncul. Berbeda dengan kawan ayah yang bekerja di pusat perkantoran yang terletak di lantai tingkat tertentu yang berlokasi di jalan utama di Jakarta, sementara aku bekerja di desa. Betul kantorku berada di pinggir jalan, tetapi jalan yang melintang di depan kantorku hanyalah jalan berbatu tidak bernama yang menghubungkan antar desa di kecamatan. 

Selain itu aku bingung harus ditulis apa di bawah namaku di kartu nama itu. Aku tidak memiliki jabatan yang dikenal di masyarakat seperti kawan ayahku itu. Aku pernah melihat contoh-contoh kartu nama yang berserak di meja yang dilapisi kaca di tukang percetakan. 

Di bawah nama yang tercantum tertulis jabatan seperti direktur produksi, supervisor, peneliti senior, notaris, pengarah gaya, kepala montir, dll. Lalu di bawah namaku harus tertulis trainee, deskman, atau pemegang buku? Ah, memalukan sekali rasanya.

Setelah kureka-reka selama lebih dua minggu setiap menjelang tidur sehabis makan malam di Warung Gendut, akhirnya kartu namaku berhasil dicetak. Di bagian atas terdapat logo dan nama perusahaan dan di paling bawah tertulis Alamat: Di samping Balai Desa Kroya, 200 meter dari RM Gendut. Sedangkan di bawah namaku -setelah garis bawah tebal, tertulis Jabatan: Staf Akutansi.

Beberapa lembar kuselipkan di dompet, sisanya dalam cepuk plastik disimpan di laci meja kerja yang kuncinya sudah lepas bercampur dengan bolpoint, bak stempel dan buku catatan kecil. Belum satu pun tersentuh setelah beberapa hari.

Diberikan kepada nasabah unit, rasanya tidak pantas. Mereka sebagian besar adalah petani yang pergi ke bank hanya sewaktu-waktu saat pergi atau pulang dari sawah. Karenanya membawa kartu nama ke sawah hanya sia-sia saja, bisa masuk ke lumpur atau terbakar bersama jerami padi. 

Pegawai negeri yang ada hanya guru SD atau pegawai puskesmas pembantu yang datang ke bank saat pembayaran gaji setiap bulan saja. Mereka sudah kukenal semua, tak perlu lagi kartu nama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun