Asap tipis mengepul dari cangkir-cangkir kopi di sudut warung kecil di pelosok nagari. Tempat tongkrongan yang lebih akrab disebut "lapau" ini adalah panggung utama dari kehidupan sosial lelaki Minang. Di sanalah berbagai topik bergulir, dari politik, hasil panen, pekerjaan, dan hobby. Bahkan sampai urusan rumah tangga pun dibahas di tempat itu.
Di lapau ini, orang yang datang itu-itu saja, sesekali hanya para perantau yang pulang kampung atau politikus yang sedang mencari suara.
Meski penghuninya hanya belasan orang saja, obrolan mereka tak pernah kering, seperti cangkir yang selalu diisi ulang dengan kopi.
Ditemani kepulan asap rokok yang terselip dari bibir, sesekali terlihat canda dan tawa disela obrolan mereka.
Bisa dibilang, warung kopi lebih ramai dari kantor wali nagari, apalagi si pemilik juga menyediakan TV, batu domino atau kertas ceki "koa".
Paling ramai jika piala dunia, setengah warga dusun akan nonton bareng di sana. Pundi-pundi uang pun mengalir ke saku yang punya.
Dengan meja kayu panjang serta bangku palanta dari belahan batang pinang. Lapau yang sederhana akan berubah menjadi tempat pertemuan yang egaliter.
Tak peduli siapa Anda, petani, guru, pensiunan, atau pelajar semua bisa duduk dalam satu meja, bersama-sama menyeruput kopi hitam yang pahitnya jujur terasa.
Tak jarang saat akan pulang, pelanggan berbisik pada si pemilik, "catat dulu besok dibayar!"
Ya.. maklum sebagian masyarakat mempunyai mata pencarian tidak tetap. Kalau kata pepatah, rezki harimau, kalau sedang bekerja, mereka banyak uang, namun jika menganggur terpaksa berdirilah pena di buku utang.