Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Rasa Malu Menjadi Viral

8 September 2021   23:58 Diperbarui: 8 September 2021   23:57 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Discover, March/April 2021, hlm. 38-39.

Seperti yang Anda duga, ini rumit. "Salah satu masalah dengan [media sosial] adalah tidak ada konteks," kata Lisa Feldman Barrett, seorang ahli saraf dan psikolog di Universitas Northeastern dan penulis How Emotions Are Made: The Secret Life of the Brain.

Ini diperparah oleh fakta bahwa media sosial tidak selalu memungkinkan wacana bolak-balik yang sama yang digunakan orang dalam kehidupan nyata untuk membicarakan masalah mereka.

Alih-alih, platform seperti Twitter dan Facebook sebagian besar dirancang untuk penyiaran, katanya, ketimbang komunikasi aktual di antara orang-orang: "Ini sebagian besar adalah tentang berbicara, dan ini bukan tentang mendengarkan."

Namun, kemarahan moral publik tidak selalu ditujukan untuk mereformasi seorang pelaku tertentu. Tujuannya mungkin solidaritas kepada korban, kelompok atau penyebab, dan pergeseran nilai-nilai budaya pada siapa pun yang menyaksikan kemarahan itu.

"Orang yang telah melakukan pelanggaran, misalnya, Harvey Weinstein, mungkin akan menjadi kasus yang sia-sia," jelas Cohen, "Tapi, dengan menjadikannya contoh, itu menetapkan standar bagi masyarakat kita. Kode moral. Perilaku apa yang bisa diterima dan tidak bisa diterima."

Mengaduk-aduk Kemarahan
Massa Twitter dan media sosial sering bersatu melawan rasisme, seksisme, dan perilaku lain yang berakar pada kefanatikan. Jika Anda memeriksa gerakan budaya seperti #BlackLivesMatter dan #MeToo, Anda akan menemukan pelanggar tertentu dipermalukan bersama dengan tantangan kepada organisasi yang lebih luas, misalnya departemen kepolisian atau partai politik.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemarahan kolektif juga bisa menjadi kekuatan pemersatu dan efektif untuk perubahan sistemik. Kemarahan bahkan mungkin diperlukan.,

Martin Luther King Jr. dan Malcolm X sama-sama marah tentang rasisme. Gandhi marah tentang imperialisme Inggris di India. Mereka semua marah kepada ketidakadilan, dan mereka mampu mengubahnya menjadi aktivisme.

Kepustakaan
1. Meinch, Timothy, When Shame Goes Viral, Discover, March/April 2021, hlm. 38-45.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.

Jonggol, 8 September 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun