Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Literasi dan Etika Digital: Yuk Mencantumkan Kepustakaan Secara Jujur dan Akurat

20 Agustus 2021   13:44 Diperbarui: 20 Agustus 2021   13:53 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Literasi dan etika digital. Sumber: barewalls.com

Literasi etis (ethical literacy) adalah proses belajar dan kemampuan mengartikulasikan kehidupan moral kita sendiri: The Importance of the Hunter Education Program to the Development of Ethical Literacy Among the Hunting Community.

Menurut Chapman pada artikel di atas, ada 3 poin utama dalam proses literasi etis:
1. Penjelasan.
2. Klarifikasi.
3. Pencerahan.

Hasil dari proses literasi etis memungkinkan seseorang untuk dengan mudah memahami dan menanggapi kontroversi-kontroversi moral, dan memungkinkan orang tersebut untuk mengekspresikan dirinya dalam wacana yang bernalar. Tentang kontroversi moral, lihat artikel saya: Moralitas? Bisa Ditawar-tawar atau Tidak?

Literasi etis tidak diperlukan untuk tindakan etis, namun refleksi yang diperlukan dalam proses literasi etis mendorong tindakan yang etis dan bernalar dari seseorang.

Saya mengungkit masalah literasi etis ini karena saya pernah menemukan beberapa tulisan yang tidak berisi etika berliterasi.

Ketidakberetikaan itu adalah dalam hal pencantuman kepustakaan yang menyesatkan dan bahkan memviktimisasi para pembaca dengan sesuatu yang jelas-jelas merupakan sebuah kebohongan.

Kenapa hal ini dilakukan? Mungkin karena:
1. Si penulis menganggap para pembaca adalah orang-orang lugu yang mudah diperdaya dengan hal-hal yang "wah," misalnya selain pencantuman profil yang superkeren, yang wajar dilakukan sebagai sebuah "personal branding" dan juga (ini yang tak eloknya) pencantuman beberapa kepustakaan bohongan yang juga tidak kalah keren, terlepas dari konten tulisannya terkait langsung atau tidak langsung dengan kepustakaan tersebut.

Inilah yang sulit saya terima, karena apa? Begitu saya buka tautan ke kepustakaan tersebut, kontennya adalah:
- Ringkasan jurnal keren yang mengindikasikan versi cetak pada tahun-tahun sebelumnya.
- Judul buku yang terpampang pada laman tertentu.

Jelas bisa kita simpulkan dengan penuh kecurigaan, selain tidak beretika literasi, si penulis juga tidak memiliki satu pun kepustakaan yang dia cantumkan pada akhir tulisannya.

2. Si penulis tidak peduli akan hal ini karena haqul yakin bahwa semua pembaca tidak bakalan membuka tautan ke kepustakaan tersebut. Apakah ini sebuah anggapan bahwa semua orang lain itu dungu, persis dengan meriam lepas yang barusan saya ulas: Semakin Bablasnya si Meriam Lepas?

Hendaknyalah si penulis itu mengambil kesempatan untuk memperbaiki diri dan kembali ke jalur literasi yang etis dan memberikan contoh yang baik kepada para pembaca maupun penulis lain dengan tidak lagi menulis secara tidak etis. Sayang kalau potensinya menulis konten berbobot dicemari dengan setitik nila.

Artikel ini bisa menjadi semacam alarm agar para pembaca menyadari bahwa tulisan semacam itu bisa dengan mudahnya beredar daring. Mungkin rekanda sesekali akan menemukan juga tautan ke kepustakaan seperti yang saya uraikan itu. Alarm itu barangkali juga bisa dijadikan pegangan untuk pihak mana pun selain pembaca.

Alasan saya menulis artikel ini adalah, ketika menguji penilaian etis atau tak etisnya artikel seperti itu, saya meminta bantuan beberapa teman dan juga putri saya untuk melakukan penilaian, dan hasilnya semua mengkonfirmasi penilaian saya. Reaksi mereka bervariasi dari yang ringan sampai keras, namun saya mendeteksi satu  hal yang sama: MARAH.

Saya pikir tak ada seorang pun orangtua yang rela anaknya membuang waktu membaca artikel seperti itu, yang kontennya mungkin berbobot, namun kepustakaannya menjadi setitik nila bagi seluruh konten tersebut.

Memang, setiap tulisan tidak melulu berisi pendapat pribadi, sehingga perlu mencantumkan kepustakaan, namun sebenarnya pilihan kita sangat mudah, jika tidak mau mencantumkan kepustakaan, buatlah artikel curhat pengalaman pribadi, resep masakan pribadi, dll. Di luar itu, mau tak mau kepustakaan harus dicantumkan (dengan benar) untuk menghargai para penulis yang menghasilkan karya, yang entah gagasan mereka sendiri, atau gagasan penulis lain yang juga mereka cantumkan kepustakaannya.

Untuk tulisan yang harus mencantumkan kepustakaan, saya pribadi selalu mengacu ke kepustakaan yang saya koleksi dalam perpustakaan pribadi yang memang saya miliki, dan agar tidak terlalu menguras ruang konten, yang berupa buku, termasuk diary saya, saya cantumkan pada akhir artikel, sedangkan yang berupa sumber daring masing-masing saya cantumkan tautannya pada kalimat terkait yang saya tulis, itu pun dengan menambahkan pada kepustakaan: "berbagai sumber daring."

Ruang Berbagi: Menulis dan Saling Mendidik: Jalan Kebaikan Mengisi Kemerdekaan telah menghimbau kita semua untuk menempuh jalan kebaikan.

Semoga ke depannya tulisan yang kita baca, entah dari sumber mana pun, semakin bersih dari kontaminan berupa konten-konten yang kalau boleh saya sebut "karut-marut" ora karu-karuan itu.

Jonggol, 20 Agustus 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun