Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semakin Bablasnya si Meriam Lepas

20 Agustus 2021   07:42 Diperbarui: 20 Agustus 2021   07:49 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meriam lepas. Sumber: https://creativ-webstudio.ru/wp-content/uploads/2017/10/loose-cannon-microgaming.jpg

Meriam lepas (loose cannon) didefinisikan sebagai "orang atau benda berbahaya yang tidak bisa dikendalikan." Perilaku seorang meriam lepas sama sekali tidak terkendali atau tidak terduga dan cenderung menimbulkan masalah bagi orang-orang lain.

Saya mengamati bahwa definisi ini mengisyaratkan inisiatif kendali yang dilakukan oleh orang lain atas diri si meriam lepas: "tidak bisa dikendalikan," atau "tidak terkendali," padahal kenyataannya si meriam lepas itu sendirilah yang tidak atau tidak bisa mengendalikan dirinya sehingga bola meriam pun dia lepaskan ke mana-mana, termasuk ke kepala negara! Ini adalah ketidakberadaban.

Kemarin saya berbincang singkat dengan pakde Yusuf, seorang tetangga yang membuka toko sembako, dan beliau menghimbau saya untuk menulis tentang tatakrama. Bagaimana mungkin kita mengharapkan meriam lepas (saya tidak menggunakan lagi kata "seorang" di depan frasa ini karena Anda tahu alasan saya) yang sudah tidak punya adab itu bisa bertatakrama?

Tentang siapa meriam lepas ini sudah pernah saya tulis dalam artikel saya: Kebelumtahuan yang Dipamer-pamerkan,
dan sebenarnya saya sangat enggan menuliskan sebuah artikel lagi dengan tema serupa jika bukan untuk memenuhi permintaan pakde Yusuf yang saya hormati.

Beberapa rekan kompasianer juga sudah menuangkan kejadian aktual terkait meriam lepas ini dalam artikel-artikel mereka, dan di sini saya hanya mau menyampaikan beberapa perspektif saya seimplisit mungkin, karena meriam lepas itu secara personal sama sekali tidak layak mendapat tempat dalam artikel saya sehingga saya pun hanya menuliskannya secara umum, dengan tujuan untuk membeberkan bahwa di Indonesia, negeri yang kita cintai ini, telah hadir untuk pertama kalinya, dan mungkin satu-satunya, meriam lepas yang bablas menembus batas namun belum menerima konsekuensi yang pantas.

Menurut saya meriam lepas ini sudah lama mengidap kondisi psikiatris berganda yang definisinya bahkan belum tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang terbaru dan tertebal.

Dengan berkelit di antara HAM dan masih belum jelasnya undang-undang ITE, dan ketidakberdayaan pihak yang berwajib untuk berargumentasi, meriam lepas menunjukkan kondisi yang semakin kronis (dan mudah-mudahan terminal) dengan melakukan viktimisasi verbal kepala negara sekaligus sebuah etnis tertentu yang tidak pernah sekali pun mengganggu dia.

Meriam lepas itu merasa "medan tembaknya" semakin luas, karena menurutnya semua orang lain adalah dungu dan dengan sangat gampang dia permainkan dengan permainan kata-katanya yang sangat nyaring karena keluar dari sebuah tong raksasa yang........ kosong.

Saya sangat tidak setuju kalau meriam lepas itu disebut pandai mengolah kata. Permainan kata-katanya sudah mendarahdaging karena ketidakjelasan sistem dan nafsunya untuk semakin meningkatkan permainan itu semakin memuncak, hampir tidak ada selisihnya dengan titik maksimum, sehingga bertambahlah ungkapan negatif dalam bahasa Indonesia (hasil pengamatan saya) antara lain: "sampah teriak sampah" dan "biadab teriak biadab."

Terus, jika ada pembaca yang bertanya, bagaimana menyikapi dan menghadapi meriam lepas itu? Saya punya 1 jawaban: Titik maksimum yang saya sebutkan di atas, cepat atau lambat akan tercapai dan menjadi titik terminal, entah dari meriam lepas itu sendiri, atau dari alam atau pihak-pihak lain, kita tunggu saja waktunya.

Untuk sekarang ini, saya hanya mengambil sikap orang Medan, "biarkan saja dia berkata-kata, dia cuma menang-menang di gaya," dan tulisan ini hanya untuk konsumsi mata para pembaca di Kompasiana.

Jonggol, 20 Agustus 2021

Johan Japardi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun