Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Positivity: 2 Ketidaknalaran dan 1 Solusi Menekan Sakelar

28 Juli 2021   17:11 Diperbarui: 28 Juli 2021   17:34 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sakelar listrik. Sumber: VectorStock

Pembelajaran apa yang bisa kita peroleh dari sebuah sakelar? Kita hanya bisa menetapkan 1 dari 2 pilihan yang tersedia: positif atau negatif, atau secara biner: 1 atau 0, tidak bisa dua-duanya sekaligus.

Satu pilihan yang kita ambil itu disesuaikan dengan kondisi logis di mana kita memerlukannya. Untuk lampu listrik, misalnya, jika pagi hari sudah tiba, kita menekan sakelar ke posisi OFF, dan sebaliknya, ke posisi ON hanya ketika kita memerlukan penerangan dengan lampu listrik yang terhubungkan ke sakelar itu.

Peranti yang sangat sederhana ini menunjukkan dengan jelas kapan waktunya kita "terhubungkan" dan kapan pula "tidak terhubungkan." Memaksakan agar kedua keadaan ini berlaku sekaligus adalah perbuatan yang sia-sia, namun ada saja orang yang melakukannya, menembus batas yang tidak perlu.

Secara psikologis, ketidaknalaran ini terkait dengan:
1. Keserakahan.
2. Hilangnya sisi kemanusiaan, atau setidaknya kepedulian akan kesusahan yang menimpa orang lain. 
Untuk ulasan yang lebih rinci tentang hal ini, lihat artikel saya: Mirsani lan Eling (Lihat dan Ingat) di Tengah Pandemi, dan: Hikmah Ramadan: Rehumanisasi Mulai dari Diri Sendiri.

Ketidaknalaran ini bisa dicegah dengan menjalani hidup yang JJC (Jujur, Jelas, dan Cepat), lihat artikel saya: Mencapai Target Hidup: JJC Prasyaratnya.

Tanda-tanda toxic positivity. Sumber: Verywellmind
Tanda-tanda toxic positivity. Sumber: Verywellmind

Mungkin uraian saya di atas tampak sama sederhananya dengan sakelar, tapi mari kita telusuri lebih dalam lagi.

Samara Quintero mengatakan bahwa Toxic Positivity (Positivitas Toksik) adalah sisi gelap dari Positive Vibe (Getaran Positif): Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes.

Bagi saya, istilah Positive Vibe ini juga aneh jika saya saya kaitkan dengan Positive Energy (Energi Positif). Saya dan teman-teman yang sama-sama mengikuti the YES Course (Kursus YA) Ivan Burnell di Portland, Maine, AS, pada September s/d November 2001 biasa saling mengirimkan energi positif ini secara lisan pada teman yang sedang sakit misalnya, "I am sending you a positive energy from Indonesia" yang berisi pengharapan agar teman yang sedang sakit itu cepat pulih.

Pernyataan Quintero ini semakin menegaskan gagasan saya tentang sakelar di atas. Mari kita letakkan sisi gelap itu dalam kegelapan dan jangan membawanya ke tempat yang terang.  Mengapa?

Bayangkan bagaimana jika Andalah yang menerima dari teman Anda Toxic Positivity itu, sebuah generalisasi yang berlebihan dan tidak efektif dari keadaan bahagia dan optimis dalam semua situasi, yang dalam prosesnya menghasilkan penolakan, minimalisasi, dan invalidasi  pengalaman emosional Anda yang otentik.

Kata kunci di sini adalah keberlebihan (eksesivitas) yang pada dasarnya tidak bermanfaat. Bayangkan jika Anda sedang dirundung duka dan teman Anda menyarankan "secara positif" agar Anda:
1. Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
2. Mencoba "move on" dengan menginklusi/mengeksklusi emosi.
3. Merasa bersalah dengan apa yang sedang Anda rasakan.
4. Meremehkan pengalaman Anda dengan pernyataan "cobalah merasa baik-baik saja bro/sis."
5. Mencoba memberikan perspektif "kamu bisa lebih buruk dari ini," alih-alih memvalidasi pengalaman Anda.
6. Membuat Anda merasa malu karena Anda "lemah" dan mengekspresikan frustrasi atau apa pun selain hal yang positif.

Teman Anda itu bisa menyampaikan saran apapun yang menurutnya adalah sebaik-baiknya saran, namun orang yang sudah terdehumanisasi itu sudah mati rasa terhadap apa yang Anda alami. Kata-katanya hanya sekadar kata-kata orang munafik tanpa makna dan perasaan manusiawi, makanya kata-kata itu "toksik."
 
Bercermin dari situasi ini:
1. Mari kita lebih merasakan kesusahan orang lain dan dengan arif menyampaikan perasaan kita terhadap apa yang dia alami, sampaikan apa yang perlu disampaikan dan jangan sampai menambah beban pikiran yang bersangkutan.
2. Munculkan rasa simpati yang tulus dengan merefleksikan bahwa kitalah yang mengalami kesusahan itu.
3. Jangan mengatakan atau melakukan kepada orang lain apa yang kita tidak mau orang lain katakan atau lakukan kepada kita.
4. Tetaplah positif dalam kepositifan tanpa mengarah ke hal yang toksik.
5. Silence is (sometimes) golden. Jagalah keseimbangan antara menjadi terompet dengan orang bisu.

Solusi
Mulailah Jujur, Jelas, dan Cepat dari diri sendiri.

Kepustakaan:
1. Burnell, Ivan, Power of Positive Doing: 12 Strategi untuk Mengendalikan Hidup Anda, terj. Johan Japardi, Gramedia, 2001.
2. Diary Johan Japardi.
3. Quintero, Samara, Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes. Diakses pada: 28 Juli 2021.
4. Berbagai sumber daring lainnya.

Jonggol, 28 Juli 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun