Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Matematika Pandemi

17 Juni 2021   13:28 Diperbarui: 17 Juni 2021   19:41 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
New Normal, sumber: https://www.solopos.com/tak-bisa-sembarangan-ini-11-indikator-daerah-bisa-terapkan-new-normal-1063458

Para pembaca sekalian, matematika yang saya sampaikan dalam artikel Matematika Pandemi ini sama sekali bukan matematika yang akan mengajak Anda untuk melakukan atau menganalisis perhitungan dengan rumus yang rumit-rumit, namun ini hanya sekadar obrolan SRI (Santai, Ringan, dan Ingat), lihat artikel saya: Simulasi PJJ bersama Anak: Topik SRI (Santai, Ringan, Ingat).

Obrolan SRI ini merupakan salah sebuah hasil pengamatan yang telah saya kompilasi selama bertahun-tahun, dan khusus untuk adik-adik yang masih bersekolah atau berkuliah, ini bisa menjadi bekal untuk digunakan dalam menyambut dan menghadapi masa depan.

Deret Hitung dan Deret Ukur
Deret yang lebih tua tentunya deret hitung ketimbang deret ukur, katakanlah ketika manusia berhitung dengan bantuan batu, yang kemudian melahirkan kalkulus. Kalkulus sendiri bermakna batu kerikil kecil (seperti yang digunakan pada sempoa).

Kemudian datanglah orang-orang serakah (tidak semuanya demikian), yang dipedomani oleh peribahasa yang mestinya dijadikan peringatan: Dikasih hati minta jantung, dan mengabaikan paruh kedua dari: Banyak pun kurang, sedikit pun cukup. Intinya, orang-orang serakah itu sangat paham bagaimana menderu keserakahan orang lain demi keuntungan diri mereka.

Orang-orang yang semula cuma tahu deret hitung: "Anakku 1 orang, 2 orang, 3 orang dst." Atau "Tabunganku sudah Rp. 1 juta, Rp. 2 juta, Rp. 3 juta dst," mulai mengalihkan deret hitung itu ke deret ukur: "Tabunganku sudah 2 x lipat, 3 x lipat, dst," karena perhitungan ini menggunakan bilangan yang lebih kecil dan lebih mudah dilakukan. Lalu apa masalahnya?

Bilangan yang lebih kecil dalam deret ukur di atas memiliki beberapa potensi.
1. Syair dari sebuah cersil yang masih saya ingat dengan baik:
Mendongak dan menunduk hati merasa puas.
Hati yang suci berkelana di angkasa.
Si pemancing ikan dipuji tinggi.
Mendapatkan ikan melupakan asalnya.

Coba kita simak tentang pertambahan jumlah anak di atas, katakanlah populasi manusia yang mendiami bumi sekarang ini sudah sekian kali lipat dibanding sekian dekade yang lalu, namun bukankah manusia itu dilahirkan SATU DEMI SATU (kecuali yang kembar)?
 
2. Menjadikan pengguna deret ukur kehilangan rasa syukur, misalnya dari yang tadinya memiliki tabungan Rp. 1 juta, dan sekarang Rp. 2 juta, tidak mensyukuri bahwa tabungannya sudah bertambah Rp. 1 juta (Rp. 1.000.000), tapi malah merasa kurang puas karena tabungan itu hanya meningkat menjadi 2 kali lipat.

3. Lebih lanjut menderu keserakahan sampai orang tidak lagi mengindahkan moralitas dalam mengejar "x lipat."
Dalam beberapa artikel saya sebelumnya, saya menyebutkan bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang itu salah, semua orang menganggap dirinya benar di bawah situasi dan kondisi masing-masing, dan saya juga tidak mencap bahwa deret ukur itu salah, selama ia belum memasuki wilayah keserakahan yang bisa mencelakakan umat manusia itu sendiri. Lihat artikel saya: Biarkanlah Kata "Salah" Hanya di dalam Kamus: Mengapa Ayam Menyeberangi Jalan? Versi 1.1.

Bukan hanya deret ukur, malahan perhitungan logaritmik yang "baik" kita gunakan dalam kehidupan kita, misalnya skala Richter:
Gempa di kota A dan B masing-masing berkekuatan 9 dan 6 pada skala Richter. Skala Richter digunakan selain untuk menggunakan bilangan yang lebih kecil, juga agar orang tidak mudah panik, karena kekuatan gampa di kota A adalah 1.000 x lipat kota B!

4. Penggunaan deret ukur akan membuat kita semakin cepat mentok.
Pada 1965, Gordon Moore menginvensi Hukum Moore yang menyatakan bahwa jumlah transistor dalam sirkuit terpadu (IC) padat menjadi dobel, 2 x lipat, kira-kira setiap 2 tahun.

Hukum inilah yang memicu penelitian dan pengembangan prosesor yang melampaui skala mikro dan memasuki skala nano, dengan semakin tak terhitung jumlah transistor yang berdesak-desakan dalam IC. Ini akan mentok, dan sekarang orang mulai menjajaki Komputasi Kuantum (Quantum Computing). Lihat saja bagaimana perkembangan Hukum Moore ini sekarang.

Jensen Huang tidak mau kalah keren dengan Gordon Moore, pada 2018 dia melakukan pengamatan yang melahirkan Hukum Huang: Kemajuan dalam unit pemrosesan grafis (GPU) tumbuh pada tingkat yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan unit pemrosesan sentral (CPU) tradisional. Tanggapan singkat saya: mentoknya juga akan lebih cepat.

Pandemi Covid-19
Kemudian, tahun lalu, muncullah pandemi Covid-19 yang melanda seluruh umat manusia di seluruh dunia. Satu per satu orang perorangan, perusahaan, masyarakat, dan negara mengalami kolaps.

Saya pikir inilah saat yang paling tepat untuk melakukan refleksi dengan mengutamakan penggunaan deret hitung. Kita bisa membayangkan betapa kecewanya orang di masa normal karena targetnya tidak tercapai secara deret ukur, betapa lebih stres lagi mereka karena kehilangan secara deret ukur juga di tengah pandemi yang sangat sarat dengan ketidakpastian itu.

Kita semua berharap agar pandemi ini bisa berakhir secepatnya, dan mudah-mudahan kita bisa melewatinya dengan selamat, dan menggunakan waktu di depan mata kita untuk merenungkan tentang deret hitung dan deret ukur di atas, mengaplikasikannya dengan tepat, menghilangkan keserakahan, meningkatkan rasa syukur, membantu orang lain yang berkesusahan, dan membenahi hidup untuk menyambut kedatangan new normal, tentunya dengan penyikapan hidup yang sudah berubah.

Artikel ini saya sudahi dengan: Eling lan waspada, dan: Sangkan paraning dumadi.

Jonggol, 17 Juni 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun