Ingin hati memandang pulau, sampan ada pengayuh tidak (Ingin melakukan suatu pekerjaan akan tetapi alat-alatnya tidak lengkap). Di sini juga diuji kegigihan seseorang dalam berusaha. Orang yang pesimistik akan membatalkan rencana, sedangkan orang yang optimistik akan meneruskannya: Berjuang sampai titik darah penghabisan.
Oh ya, leluhur kita dengan penuh kearifan juga telah menyampaikan peribahasa di bawah ini, tinggal bagaimana kita menyikapinya, ambil atau tinggalkan:
Baik berjagung-jagung sementara padi belum masak (Lebih baik dipakai dulu yang ada sementara yang baru belum didapatkan).
Pada akhirnya, semua usaha kita yang gigih akan membuahkan hasil, karena: Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit (Usaha/upaya kecil yang terus-menerus pasti akhirnya akan memberikan hasil).
Mari kita renungkan, apakah kita memilih untuk menjadi si pembatalkah, atau si pengemah, atau si pencapai, pesimistikkah atau optimistik?
Akhir Perjalanan
Gajah mati tulang setimbun (Orang besar/kaya yang meninggal akan meninggalkan banyak harta pusaka). Harta pusaka di sini jangan dimaknai sebagai materi, namun mencakup semua warisan yang abstrak juga, antara lain: Peribahasa tentang Berusaha warisan para leluhur kita yang luhur itu.
Dan walaupun seperti yang saya katakan dalam artikel saya yang lain, bahwa memori publik itu usianya pendek, lihat kisah perjuangan Bu Fumiko Minami: Kartini-kartini yang Tersembunyi (atau Disembunyikan?), namun usaha tidak boleh surut sedikit pun: Maju terus pantang mundur.
Mari kita mengingat, bahwa: Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama (Seorang manusia terutama diingat jasa-jasanya atau kesalahan-kesalahannya. Perbuatannya ini, baik maupun buruk akan tetap dikenal meskipun seseorang sudah mati).
Dan mari kita ambil esensi kearifan dalam peribahasa-peribahasa di atas, dan kita pun bisa berusaha dalam track yang tepat menuju destinasi.
Jonggol, 17 Juni 2021
Johan Japardi