Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Gara-gara Satu Kata: Peningkatan

13 April 2021   07:00 Diperbarui: 24 April 2021   11:47 1568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampan Khas Tanjung Balai-Sumber: youtube.com/hafizhbetta

Beruntung bagi Udin, lima anaknya laki dan perempuan sudah tamat kuliah semua dan sudah berumahtangga semua, punya pekerjaan yang lumayan baik di Medan (belakangan ini tak tahulah kita macam mana perkembangan anak-anak kita itu).

Kira-kira 3 tahun yang lalu, ketika Udin sedang bercakap-cakap di warung kofi, datanglah seorang orang tua menghampiri dia. Ditepuk orang tua inilah pundak si Udin dari depan, "Din!, kau kenal lagi uwak?"

Dengan gaya agak malas, si Udin menatap orang tua ini (belakangan mereka bersitatapan). Setelah sepengisap sepertiga (1/3) batang rokok Djiesamsoe (perkiraan waktu saja ini, si Udin sudah lama berhenti merokok), si Udin pun menyahut, "Wak Anzahari! Apa kabar? Mengapa lama tak balik uwak?"

Wak Anzahari: "Adoi amak (alamak), panjanglah kalau kuceritakan. Si Ayu sepupumu itu semenjak menjadi aktris terkenal sangat rajin kawin cerai, terakhir orang bule pula suaminya, wakmu ni hah tak dia gubris lagi hidupnya, untunglah dengan uang pemberiannya wak sempat membeli rumah sederhana di daerah Bogor, dengan sebidang tanah yang lumayan luas. Jadi wak dan wak perempuanmu ini sampai sekarang hidup dari menjual hasil kebun kita berupa sayur-sayuran dan buah-buahan, itu pun belakangan ini tak begitu mampu lagi kami mengurus kebun itu karena sudah tua dan tak ada yang membantu. Uwak sampai berniat hendak menjual rumah dan kebun itu dan balik sajalah ke Sungei Nangka ini sambil menunggu dipanggil oleh yang Mahakuasa.

Jadi,
Tinggalkan kampung pergi merantau
Hidup ditopang anak perempuan
Setelah tua kesadaran datang juga
Sei Nangka tetap menjadi kerinduan.
(Kalau kita simak cerita tentang wak ini di atas, berarti tak jadi dia pindah balik ke Sungei Nangka, dan maklumi ya kalau rima pantun ini kurang sempurna, karena yang mengarangnya adalah uwak-uwak).

Udin: "Oh, begitu rupanya kisah hidup wak itu ya. Sabarlah wak, di sini pun keadaannya kurang lebih sama, tak jelas."

Karena bisa dibayangkannya apa yang dimaksud si Udin ini, terenyuhlah hati wak Sulung Anzahari mendengarkan cerita anak adik Tengahnya ini, mengapa kiranya zaman begitu kejam? Bukan pemalas bukan orang bodoh keturunan adiknya ini, tapi macam manalah pula hendak mengubahkan keadaan? Dirogoh wak Anzaharilah kantong celananya sebelah kanan, dikeluarkannyalah sepuluh (10) lembar uang Soekarno-Hatta dari dompet kulitnya yang sudah lusuh, dan diserahkanyalah kepada Udin.

Udin (terharu dan senang): "Makjang (wah), beribu-ribu terimakasih wak ya. Minumlah dulu uwak sebelum kita ke rumah. Nanti kusuruh si Munah memasak gulai lomak."

Wak Anzahari: "Bah jadi. Tapi teringatnya nak Udin, apa tak ada peningkatanmu dalam menangkap ikan?"

Mendengar perkataan waknya, hendak naik lagilah pitam si Udin (hari itu di warung itu sudah sempat dua kali dia marah-marah, bahkan ada seorang anak pengunjung warung itu yang dia takik lehernya karena dianggapnya belagu dan sok jago), untunglah diingatnya bahwa yang berdiri di depannya adalah uwak kandungnya sendiri.

Udin pun menjawab dengan gaya sedikit berpantun (tak mau kalah dengan uwaknya):
"Tak bersampan lagi aku sekarang wak, hidupku kutopang dengan kerja mocok-mocok, malahan kadang-kadang kerja seribu tak kerja limaratus, terpaksalah kuambil yang kerja tak kerja, seribu limaratus! alias duduk seharian di warung bersama teman-teman baru, karena teman-teman lamaku yang wak juga kenal macam si Amir Foto, Lu Kok Siang, Ikhsan Kebal (Kecil tapi Bandel), Alpin (Ali Pincang), Juned Catuk (Pemalak gudang ikan), Bambang Lobo, Jalal Tenggen (Pemabuk), Ucok Mangkuk (karena punggungnya seperti sebuah mangkuk, namanya sudah disebut di atas), Iwan Dadah, si Asom (Aseng Ompong), kembar Tan Beng Hok dan Tan Beng Kok, Abie Lusa (kalau berjanji selalu bilang lusa, lusanya bilang lusa lagi), Amitablachan, Ebi Tegap (padahal bobot badannya di bawah 50 kilo), Munir Gendut, pak Oesman Boeang, wak Abas, wak Gani, wak Sangkot, Haji Amir dll., sudah tak ada lagi di dunia ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun