Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Satu China di Antara Ratusan Tamil: Sebuah Pengalaman Langka

12 April 2021   19:30 Diperbarui: 24 April 2021   11:54 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan
Menurut saya, istilah yang paling tepat adalah China. KBBI menggunakan istilah Cina dan saya menemukan bahwa kata ini keliru. Alasannya:
1. Cina bermakna bangsa Jurchen atau Manchu ((lihat artikel saya: Mengulik Kata "Cina" yang Salah Kaprah (Seharusnya: "China"))
2. Konsonan berganda "ch" jika dijadikan tunggal, "c" akan menimbulkan adu kebo (seperti yang diuraikan dalam artikel saya: Tabrakan Antar Sesama Konsonan Bahasa Indonesia dan ph, f, dan v: Diskusi Bahasa dengan Putriku yang Mulai Jadi Pemerhati.

Selanjutnya, saya tidak menggunakan istilah "Tionghoa," karena premis semula di kalangan pakar bahasa Indonesia adalah mengutamakan pengadaptasian kata-kata dari sumber berbahasa Inggris. 

Dari Catatan Harian, Malam Minggu, 14 Januari 2017

Sebenarnya saya tidak berniat keluar rumah malam ini, tapi karena kehabisan bubuk kopi, saya pun pergi ke Mal Artha Gading untuk membelinya di Serambi Botani, yang dilanjutkan dengan makan malam di Koi Teppanyaki. Sesudah itu, saya pun lalu naik ke lantai 6 menuju XXI yang sudah direnovasi.

Saya agak heran karena pengunjung malam itu banyak orang Tamil. Dengan bahasa Tamil saya yang cuma tingkat pemula, saya pun mulai beramah-tamah dengan mereka.

Saya berkenalan dengan pak Shankar, pak Prakesh, pak Chandru, bu Angai dari Kedutaan India, bu Chitra dll. Saya sempat diundang oleh bu Angai untuk mengikuti kursus bahasa Tamil yang diselenggarakan oleh Kedutaan India setiap Sabtu pukul 19.30.

Bu Angai menanyakan apakah saya akan menonton film Tamil, saya katakan bahwa saya masih mau memilih film baru apa yang akan saya tonton.

Sesampainya di loket saya menyadari bahwa malam itu di XXI MAG diputar TAMIL MOVIE yang terpampang di monitor informasi film, tapi untuk sekali pertunjukan saja (pukul 21.30). Ini sungguh sebuah pertunjukan yang sangat langka. Pandangan saya saya arahkan lebih ke kiri dan saya melihat poster film Tamil dengan judul BHAIRAVAA.

Saya yang tadinya ingin nonton film Barat, SHUT IN, lalu membeli tiket BHAIRAVAA dan sebuah tiket lain untuk SHUT IN  pukul 23.25.
Monitor tempat duduk menunjukkan ada 3 kursi kosong dan saya memilih kursi H-11 (baris ketiga dari layar). Saya pun masuk ke dalam Studio 4 dan duduk di kursi tersebut.

Sebelum duduk, saya merasa sedikit heran karena seisi ruangan adalah orang Tamil. Saya masih sempat bercanda dengan orang-orang di barisan depan dalam bahasa Inggris, “Saya nggak salah masuk kan? Saya mau nonton film Tamil, Bhairavaa.” Seseorang menjawab, “Nggak salah masuk, silahkan duduk.”

Setelah duduk, saya ngobrol dengan orang-orang pada barisan H. Kira-kira 5 menit kemudian saya didatangi oleh perempuan yang menjual tiket kepada saya. “Maaf pak, terjadi kesalahan. Film ini khusus untuk undangan, semuanya membeli tiket dengan voucher. Harap bapak keluar untuk mengambil uang pengganti tiket bapak.”

Saya merasa kecewa dan menanyakan kepada orang-orang yang duduk sebarisan dengan saya, apakah ada di antara mereka yang bisa membantu saya. Mereka tampak tidak bisa berbuat apa-apa dan ikut kecewa. Dengan sangat terpaksa saya pun mengikuti staf XXI itu untuk keluar dari Studio 4. Kejadian itu mendapat perhatian banyak penonton lain.

Sampai di dekat lorong yang menuju ke pintu masuk, saya ditanyai dalam bahasa Inggris oleh seseorang yang tampaknya adalah anggota panitia rombongan, “Apakah bapak benar-benar mau nonton ini film Tamil?” “Tentu saja, kalau tidak buat apa saya beli tiketnya.”

Dengan gaya heroik seperti di film-film Tamil, anak muda ini berkata, “Kalau begitu, bapak pakai saja tiket saya.” Saya pun diserahi tiket dengan nomor kursi E-3 ((belakangan saya lihat harganya 25.000 NFS (Not For Sale for General Public?)). Saya pun bereaksi dalam bahasa Tamil, “rompa nanri Tambi (banyak terima kasih dek)” yang disambut dengan tepuk tangan orang-orang yang mendengar kata-kata saya.

dokpri
dokpri
Dengan perasaan gembira, saya pun duduk dan ngobrol lagi, kali ini dengan orang-orang di barisan E, dan kali ini bahkan saya dibagikan popcorn. Film ini selesai pada pukul 00.30 (durasi 3 jam) dan saya cuma nonton SHUTIN di Studio 1 selama setengah jam terakhir, s/d pukul 01.00 (durasi 1,5 jam).

Sebelum masuk ke studio 1, saya sempat ditahan oleh beberapa orang Tamil yang mengajak saya ngobrol, termasuk di antaranya pak Chandru yang datang bersama isteri dan 2 orang anaknya, yang mewawancarai saya dengan rekaman video dan meminta saya berbicara sedikit dalam bahasa Tamil.

Salah sebuah kalimat yang saya ucapkan adalah bahwa jika ada kata yang saya tidak tahu, saya cuma perlu menggunakan kalimat pamungkas: “அதை இந்த தமிழில் எப்படி சொல்லுவீர்கள்? Adhai inta thamizhil eppadi solluveergal? (Ini bahasa Tamilnya apa?)” (Lihat Logika Belajar Apa Saja).

dokpri
dokpri
Jonggol, 12 April 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun